Rabu, 12 MARET 2025 • 14:06 WIB

Dari Mana Asal Gorengan dan Kenapa Bisa Jadi Makanan Favorit Orang Indonesia?

Author

Ilustrasi gorengan.

INDOZONE.ID - Bulan Puasa Ramadhan memang selalu identik dengan berbagai hidangan yang sangat menggugah selera.

Salah satu bagian yang kerap dinantikan adalah takjil, yakni makanan ringan atau minuman yang dikonsumsi untuk membatalkan puasa sebelum menyantap hidangan utama.

Bicara soal takjil, maka sangat sulit untuk dipisahkan dengan aneka jenis gorengan. Ya, gorengan yang biasanya diisi oleh bakwan, risoles, tahu isi, hingga pisang goreng memang menjadi salah satu satu takjil favorit warga Indonesia untuk berbuka puasa Ramadhan.

Teksturnya yang renyah di luar dan lembut di dalam memberikan sensasi yang nikmat saat disantap dengan saus sambal atau cabai rawit.

Terlebih gorengan juga bisa dibilang cukup mengenyangkan, sehingga banyak jadi pilihan menu berbuka puasa, terutama para pekerja dan yang sedang dalam perjalanan menuju rumah.

Sebelum menjadi menu berbuka favorit oleh hampir seluruh suku di Indonesia, gorengan sendiri ternyata memiliki sejarah panjang dalam perkembangan kuliner Nusantara.

Lantas seperti apa sejarah gorengan dalam kisah panjang kuliner Nusantara? Mari Disimak penjelasan berikut!

Baca Juga: Dinamika Musik Religi di Indonesia: Syiar Dakwah Musiman yang Terus Berevolusi

Sejarah dan Perkembangan Gorengan di Indonesia

Asal-usul Gorengan dan Pengaruh Tiongkok

Ilustrasi gorengan.

Teknik menggoreng makanan di Nusantara memiliki keterkaitan erat dengan budaya kuliner Tiongkok. Sejarawan Denys Lombard dalam Nusa Jawa Jaringan Asia mencatat bahwa metode penggorengan diadopsi dari orang Tionghoa, yang juga memperkenalkan peralatan masak seperti kuali dan wajan.

Dalam buku The Land of the Five Flavors: A Cultural History of Chinese Cuisine, Thomas O. Hollmann menyebutkan bahwa menggoreng adalah teknik memasak yang telah lama dikenal di Tiongkok, termasuk metode stir-fry (jian chao) dan deep-fry (zha).

Roungguang Zhao, seorang ahli sejarah dan budaya makanan Tiongkok di Zhejiang Gongshang University, dalam bukunya A History of Good Culture in China, menjelaskan bahwa menggoreng adalah teknik utama dalam mengolah makanan tradisional Tiongkok. Teknik ini kemudian menyebar ke berbagai wilayah, termasuk Nusantara, melalui jalur perdagangan dan interaksi budaya.

Baca Juga: Timnas Indonesia U-20 Terpuruk di Piala Asia: Mental Lemah atau Persiapan Kurang Matang?

Awal Mula Gorengan di Nusantara

Istilah "gorengan" pertama kali ditemukan dalam Serat Centhini, sebuah karya sastra Jawa yang disusun pada tahun 1814 oleh Sunan Pakubuwono V. Dalam naskah ini, disebutkan berbagai metode memasak, termasuk menggoreng dan menumis, yang digunakan dalam berbagai acara dan perhelatan masyarakat Jawa.

Pada masa itu, teknik menggoreng yang diperkenalkan oleh orang Tionghoa umumnya menggunakan minyak babi. Namun, pada abad ke-19, popularitas gorengan meningkat dengan diperkenalkannya kelapa sawit oleh Belanda ke Nusantara pada tahun 1848.

Rucianawati dalam Usaha Kelapa Rakyat di Daerah Jawa Timur pada Awal Abad ke-20 (2001) mencatat bahwa masyarakat Indonesia mulai mengolah kelapa menjadi minyak secara tradisional, sementara pengusaha Eropa dan Tionghoa sudah lebih dahulu memiliki teknologi ekstraksi minyak kelapa sawit.

Sejak saat itu, penggunaan minyak kelapa sawit untuk menggoreng semakin meluas, menjadikan gorengan sebagai bagian tak terpisahkan dari budaya kuliner Indonesia.

Gorengan sebagai Tradisi Takjil di Bulan Ramadan

Ilustrasi gorengan.

Gorengan telah menjadi bagian dari budaya kuliner masyarakat Indonesia, terutama saat bulan Ramadan. Beberapa faktor yang menyebabkan gorengan begitu identik dengan takjil di bulan puasa adalah:

Kemudahan dan Ketersediaan

Gorengan mudah dibuat, bahan-bahannya murah, dan penjualnya tersebar di mana-mana. Saat berbuka puasa, orang cenderung mencari makanan yang praktis dan mengenyangkan, menjadikan gorengan pilihan utama.

Kombinasi Tekstur dan Rasa

Menurut Chef senior William Wongso, gorengan memiliki kombinasi rasa gurih, tekstur renyah di luar, serta lembut di dalam, yang sangat disukai masyarakat Asia Tenggara dan Tiongkok.

Faktor Biologis dan Psikologis

Kevindra Soemantri, narator Street Food: Asia di Netflix, menjelaskan bahwa makanan yang memuaskan panca indra cenderung lebih disukai. Gorengan memberikan kepuasan dari suara renyah (kriuk), rasa gurih, dan tekstur yang garing. Ini juga menjelaskan mengapa gorengan yang sudah dingin kehilangan daya tariknya.

Penyebaran Gorengan ke Seluruh Indonesia

Pedagang gorengan di UPTD Terminal Temanggung Djaya Karti di Tamiang Layang. (ANTARA/Dokumentasi Warga)

Penyebaran gorengan di Indonesia terjadi melalui jalur perdagangan, interaksi budaya, dan inovasi masyarakat lokal. Hampir setiap daerah memiliki versi gorengan yang khas, menyesuaikan dengan bahan dan budaya setempat.

Beberapa contoh gorengan khas daerah meliputi:

  • Bakwan (Jawa) – Sejenis gorengan berbasis tepung dengan campuran sayur atau udang.
  • Cireng (Sunda) – Terbuat dari tepung tapioka yang digoreng hingga kenyal dan renyah.
  • Mendoan (Jawa Tengah) – Tempe goreng setengah matang yang lembut di dalam.
  • Pisang Goreng (Sumatra, Kalimantan, Sulawesi) – Pisang yang digoreng dengan balutan tepung renyah.

Perbedaan Penyebutan Gorengan di Berbagai Daerah

Ilustrasi gorengan.

Perbedaan penyebutan gorengan di berbagai daerah disebabkan oleh faktor linguistik dan budaya. Setiap suku dan wilayah di Indonesia memiliki kosakata serta cara beradaptasi dengan kuliner lokal, misalnya:

  • Di Jawa, istilah "mendoan" merujuk pada tempe goreng setengah matang, sedangkan di daerah lain mungkin hanya disebut "tempe goreng."
  • Di Sumatra, pisang goreng sering disebut "godok pisang," sementara di Makassar dikenal dengan nama "sanggara."
  • Di Jakarta, bakwan sering disebut "bala-bala," sedangkan di Malang, dikenal dengan nama "weci."

Keanekaragaman ini menunjukkan betapa luasnya adaptasi dan inovasi kuliner di Indonesia, di mana teknik menggoreng yang berasal dari Tiongkok berkembang menjadi beragam jenis gorengan dengan ciri khas masing-masing daerah.

Gorengan telah menjadi bagian dari identitas kuliner Indonesia. Teknik menggoreng diperkenalkan oleh orang Tionghoa, kemudian berkembang pesat di Nusantara dengan masuknya minyak kelapa sawit pada abad ke-19.

Keberadaan gorengan sebagai makanan favorit masyarakat, termasuk dalam tradisi takjil Ramadhan, didukung oleh kemudahan dalam pembuatannya, tekstur yang menggugah selera, serta pengaruh budaya yang kuat.

Penyebaran gorengan ke seluruh Indonesia juga melahirkan beragam nama dan variasi sesuai dengan karakteristik daerah masing-masing.

Gorengan Jadi Ide Bisnis yang Cuan pada tiap Bulan Ramadhan

Saat Bulan Puasa Ramadhan, memang hampir setiap sudut jalan ditemukan penjual gorengan baik yang memang sudah jadi mata pencaharian serta yang dadakan. Keuntungan yang menggiurkan dalam menjual aneka jenis gorengan di Bulan Puasa Ramadhan jadi alasannya.

Hal tersebut pun disampaikan langsung oleh salah satu penjual aneka jenis gorengan di Yogyakarta, yakni Ana (37). Ia menjelaskan selain cukup menguntungkan, cara simple dalam pembuatan jadi alasan banyak orang yang coba jadi penjual gorengan di setiap Bulan Ramadhan.

Ana (37) menjadi salah satu pedagang gorengan yang meraih cuan di tiap Bulan Ramadhan.

"Soalnya lebih simpel sih. Lagian juga kan kalau misalkan gorengan tuh kayak lebih menggoda gitu ya. Jadinya lebih memilih untuk berjualan gorengan aja gitu," jelas Ana.

"Iya menguntungkan, kalau selama ini saya lihat tentu menguntungkan ya, karena kan mungkin dengan modal yang cuma enggak terlalu banyak, tapi omsetnya bisa banyak, asalkan dia laku loh ya, tapi kalau nggak ya nggak. Kalau untuk modal itu relatif ya. Tapi kalau untungnya itu paling 50-60 persenan lah dari HPP-nya itu," lanjutnya.

"Ya sangat menguntungkan meski sampingan. Kalau dari saya sendiri ini pertama ikut geliat pasar Ramadan. Yang sebelumnya kan susah ya. Ini dapat dari teman ya sudah terus saya ikut. Dan juga kalau disini kan kebetulan karena lingkungan rumahku dekat sini, jadinya infonya cepat.

Bagi Imam Hidayat selaku salah satu penikmatnya menilai gorengan memang layak jadi salah satu menu favorit berbuka puasa. Sebab selain rasa yang enak, harga yang bersahabat dengan kantong pekerja jadi alasan Utama gorengan selalu jadi pilihan untuk berbuka puasa.

"Karena Gorengan makanan yang murah, merakyat dan mudah di dapat. Pesona rasa gorengan selalu terngiang-ngiang menjadi target untuk berbuka. Rasanya yang enak membuatnya menjadi top level dalam sasaran untuk berbuka," jelas Imam.

"Rasa gorengan yang bermacam, namun di setiap rasanya memiliki kekuatan rasa menjadikan gorengan makanan yang di sukai oleh saya. Gurih nya enak, manisnya enak dan kombinasi berbagai bahannya menciptakan kelezatan tersendiri yang sulit di abaikan," pungkasnya.

Dampak Konsumsi Gorengan yang Berlebihan

Ilustrasi gorengan.

Mengonsumsi gorengan yang terlalu berlebihan terutama di bulan puasa Ramadhan dinilai justru akan memberikan dampak negatif untuk tubuh. Hal tersebut pun disampaikan langsung oleh Guru Besar Pangan dan Gizi Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Ali Khomsan, dalam wawancaranya dengan INDOZONE, belum lama ini.

"Gorengan menjadi salah satu ciri berbuka puasa di masyarakat kita. Boleh mengkonsumsi gorengan saat berbuka puasa, tapi tidak berlebihan. Karena gorengan bersifat mengenyangkan, maka bila makan terlalu banyak akan mengurangi meals yang disiapkan dengan 4 sehat, nasi lauk sayur buah untuk memenuhi gizi tubuh," jelas Ali dalam pernyataannya.

Menurut pernyataannya, Prof. Ali Khomsan, menyebut bahwa terlalu banyak mengonsumsi gorengan saat berbuka puasa berpotensi si penikmat makanan tersebut menderita penyakit radang tenggorokan serta kegemukan.

"Mengkonsumsi gorengan terlalu banyak bisa menimbulkan iritasi kerongkongan, serak, batuk, dll. Sementara untuk dampak jangka panjangnya, jika sering konsumsi gorengan berlebihan adalah kegemukan," ungkapnya.

Pernyataannya Prof. Ali Khomsan pun diamini dari Jubir Kementrian Kesehatan (Kemenkes), yakni Drg. Widyawati. Ia membenarkan bahwa terlalu banyak mengonsumsi gorengan saat berbuka puasa, justru buruk untuk Kesehatan tubuh dengan memicu sejumlah penyakit berikut:

  • Gangguan pencernaan: Gorengan memiliki minyak yang tinggi, sehingga mengandung lemak yang tinggi juga. Karena itu, makan gorengan dalam jumlah yang banyak akan memaksa lambung untuk bekerja lebih keras. Hal ini karena setelah seharian berpuasa, lambung akan dalam keadaan kosong, perut kembung, mual, dan diare, lambung lambat mencerna makanan, iritasi lambung dan tenggorokan.
  • Obesitas dan jantung: Lemak trans ini dapat menyumbat pembuluh darah dan meningkatkan risiko penyakit jantung serta stroke. Selain itu, sering mengonsumsi makanan gorengan juga dapat menyebabkan kenaikan berat badan yang tidak sehat. Proses penggorengan menambah kalori pada makanan, sehingga konsumsi berlebihan dapat berujung pada obesitas.
  • Kadar gula darah naik: Konsumsi gorengan terus-menerus dapat meningkatkan kadar gula darah.
  • Zat berbahaya: Mengonsumsi gorengan terlalu banyak dapat memperbesar risiko seseorang terkena penyakit kanker. Hal ini disebabkan oleh zat akrilamida yang dapat terbentuk ketika proses menggoreng atau memasak dengan suhu yang tinggi. Terbentuknya akrilamida, amina heterosiklik, dan hidrokarbon aromatik polisiklik, minyak yang digunakan berulang-ulang menjadi sumber kolestrol.
  • Kerusakan gigi: Gorengan yang lengket dan berminyak dapat menempel pada gigi dan gusi

Meski begitu, gorengan sebagai menu berbuka puasa dan sebagai ide bisnis yang cuan akan selalu hadir di setiap bulan Ramadhan. Kini kita hanya bisa menakar agar tidak terlalu berlebihan dalam mengonsumsinya demi tubuh kita tetap sehat.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Liputan Langsung, Wawancara Langsung