INDOZONE.ID - Indonesia tengah menyongsong bonus demografi, yang mencapai puncaknya pada 2030 mendatang.
Namun peningkatan jumlah penduduk ini dibayangi kekhawatiran ihwal bagaimana mereka memperoleh penghidupan.
Hal ini dapat dimengerti, mengingat pada kondisi saat ini, orang-orang yang sudah bekerja pun harus kehilangan pekerjaannya.
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) terus terjadi pada perusahaan-perusahaan dari berbagai industri.
Menyitir data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), PHK yang terjadi pada Januari-Juni 2024 telah menyebabkan 32.064 orang karyawan kehilangan statusnya.
Jumlah ini menunjukkan peningkatan dari apa yang terjadi pada periode yang sama tahun lalu. Saat itu, jumlahnya 26.400 orang yang berarti terjadi kenaikan sebesar 21,4 persen.
Jakarta menjadi provinsi dengan jumlah PHK terbesar pada Januari-Juni 2024, dengan 7.460 orang kehilangan pekerjaan. Mirisnya, jika dibanding periode yang sama tahun lalu, jumlah ini mengalami kenaikan sebanyak 6.786 orang atau hampir 1.000 persen.
Kondisi Makin Memburuk
Saat membuka Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) XXII di Solo, Jawa Tengah, pada Kamis (19/9/2024) lalu, Presiden Joko Widodo menggambarkan kondisi yang akan semakin memburuk.
Jokowi bahkan bilang kalau tahun depan, akan ada banyak pekerjaan yang hilang.
"Kalau kita baca, pada 2025 pekerjaan yang hilang ada 85 juta, ini jumlah yang tidak kecil," kata Jokowi.
Ini tentu akan menjadi tantangan yang semakin besar, terutama bagi angkatan kerja baru.
Dalam hasil Survei Angkatan Kerja Nasional (Sakernas) yang dirilis Badan Pusat Statistik (BPS) November 2023 lalu, ada 5,43 juta orang angkatan kerja di Jakarta pada Agustus 2023. Jumlah ini bertambah 174.000 orang ketimbang angkatan kerja pada Agustus 2022.
Di Indonesia, angka pengangguran sebenarnya mengalami penurunan. Data BPS menyebut pada Agustus 2023, ada 7,86 juta orang berstatus pengangguran, dari 147,71 juta angkatan kerja yang tersedia.
Jumlah ini mengalami penurunan 0,56 juta orang ketimbang periode yang sama tahun lalu. Hanya saja, jumlah ini masih lebih tinggi ketimbang kondisi sebelum pandemi, yaitu Agustus 2019 yang mencapai 7,10 juta orang pengangguran.
Secara keseluruhan, penduduk usia kerja di Indonesia pada Agustus 2023 berjumlah 212,59 juta orang. Angka ini meningkat 3,17 juta ketimbang periode yang sama pada Agustus 2019.
Dari total penduduk usia kerja itu, 147,71 juta orang di antaranya termasuk angkatan kerja. Ini juga meningkat 3,99 juta orang jika dibandingkan dengan Agustus 2022.
Pada periode itu, ada 139,85 juta orang Indonesia yang bekerja, yang terbagi dalam kategori berbeda. Sebanyak 23,03 persen di antaranya membuka usaha sendiri, sementara 14,15 persen lainnya memiliki usaha yang telah memiliki karyawan meski berstatus tidak tetap.
Selain itu, ada sekitar 37,68 persen yang bekerja sebagai buruh, karyawan, atau pegawai. Pertanyaannya, jika pada 2025 ada 85 juta pekerjaan yang hilang, kemana mereka akan mencari kerja?
Kondisi Serupa Terjadi di Negara Lain
Menurut Presiden Jokowi, kondisi ini sebenarnya tidak hanya terjadi di Indonesia.
Di Amerika, sulitnya mencari kerja telah menimbulkan kekecewaan di masyarakat hingga mereka mempertanyakan lagi pentingnya berkuliah atau meraih gelar sarjana.
Ini karena pengeluaran untuk mendapatkan gelar sarjana, tak memberikan jaminan pada mereka untuk mendapatkan penghasilan yang mencukupi.
Sementara itu di China, sulitnya mencari kerja telah memunculkan tren 'full time children'. Fenomena ini merujuk pada anak-anak muda yang memutuskan untuk kembali dan tinggal bersama orang tua.
Namun menariknya, mereka seolah 'bekerja' karena mendapat 'bayaran' dari orang tua untuk melakukan pekerjaan-pekerjaan sebagai seorang anak. Bisa mencuci piring, menyiram tanaman, berbelanja ke pasar, atau sekedar menemani orang tua bercengkerama.
Kenapa Kondisi Ini Terjadi
Secara global, kondisi ini mengemuka karena terjadinya perlambatan ekonomi global. Presiden Jokowi mengatakan, berbagai negara tengah menerapkan kebijakan moneter untuk menekan inflasi.
Baca Juga: Kemnaker Ingatkan Ahli K3 untuk Terus Mengawal Implementasi K3 di Tempat Kerja
Hal ini akan berdampak pada penurunan produksi, sehingga terjadi penurunan pada kapasitas perdagangan global. Dengan demikian, pendapat perusahaan-perusahaan dunia pun akan mengalami penurunan sehingga terjadi pengurangan karyawan, bahkan kebangkrutan.
Selain itu, perkembangan teknologi saat ini membuat kebutuhan terhadap tenaga manusia terus mengalami penurunan. Otomasi yang dulu hanya terjadi pada sektor mekanik dengan kemunculan robot, terus berkembang pada sektor-sektor lain.
Saat ini, kemunculan teknologi artificial intelligence (AI) telah mulai terasa menggeser sejumlah pekerjaan.
Selain itu, dampak globalisasi juga semakin terasa. Sejumlah perusahaan yang menerapkan sistem kerja WFH (work from home) atau WFA (work from anywhere), dapat merekrut pekerja dari berbagai kota, bahkan negara.
Hal ini tentu membuat persaingan makin ketat, sehingga kesempatan untuk mendapat pekerjaan akan terasa semakin sulit.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: BPS