Jumat, 06 SEPTEMBER 2024 • 13:45 WIB

4 Fakta Masyarakat Kelas Bawah Antusias Mendukung Pasangan Calon di Pilkada Meski Menyadari akan Tetap Miskin

Author

  Ilustrasi masa pendukung pasangan calon saat kampanye.

INDOZONE.ID - Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) sering kali menjadi momen penting dalam sistem demokrasi Indonesia, dimana masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin daerah mereka.

Namun, fenomena yang menarik dan sering kali mengemuka dalam pilkada adalah fanatisme yang ditunjukkan oleh sebagian masyarakat khususnya kelas bawah terhadap pasangan calon tertentu, meskipun mereka menyadari bahwa pemilihan tersebut mungkin tidak membawa perubahan signifikan terhadap kondisi ekonomi mereka.

Sorotan kali ini akan membahas fenomena fanatisme tersebut, dengan merujuk pada beberapa sumber akademik.

Definisi Fanatisme dan Konteks Pilkada

Ilustrasi massa pendukung saat kampanye.

Fanatisme politik merupakan fenomena yang sering muncul dalam setiap ajang pemilihan, termasuk Pilkada, di mana pendukung memberikan dukungan yang ekstrem dan sering kali tidak rasional terhadap seorang kandidat atau partai politik.

Baca Juga: Daftar Lengkap Calon Gubernur dan Wakil Gubernur pada Pilkada 2024: DKI Tiga Pasang Calon, Papua Barat Lawan Kotak Kosang

Dukungan ini tidak hanya terbentuk dari ketertarikan pada kepribadian calon atau afiliasi partai, tetapi juga bisa dipicu oleh faktor-faktor emosional, sosial, dan kultural yang membentuk pandangan politik seseorang.

Fanatisme politik menjadi tantangan tersendiri karena dapat mengaburkan penilaian objektif terhadap kualitas dan kapabilitas calon dalam mengatasi isu-isu krusial yang dihadapi masyarakat.

Dalam konteks Pilkada, fanatisme politik ini sering kali tampak sebagai dukungan yang kuat dan tidak tergoyahkan terhadap seorang calon, bahkan ketika calon tersebut mungkin tidak memiliki visi atau solusi konkret untuk menangani masalah-masalah mendasar seperti kemiskinan, pengangguran, infrastruktur yang buruk, dan layanan publik yang tidak memadai.

Pemilih yang terjebak dalam fanatisme politik cenderung menutup mata terhadap kelemahan calon atau partainya dan lebih memilih untuk fokus pada aspek-aspek emosional atau identitas yang membuat mereka merasa terhubung dengan calon tersebut.

Fenomena Fanatisme di Kalangan Masyarakat

Ilustrasi pendukung calon pilkada saat kampanye.

Dalam konteks politik lokal, fanatisme politik sering kali menjadi fenomena yang sulit dihindari, terutama dalam ajang seperti Pilkada. Penelitian yang dilakukan oleh Putu Bayu Hendra dan Dwi Purnawan berjudul "Emosionalitas dan Identitas dalam Pilkada: Sebuah Tinjauan Fanatisme Politik." memberikan wawasan mendalam mengenai bagaimana faktor-faktor emosional dan identitas kultural memiliki peran signifikan dalam membentuk fanatisme politik di kalangan masyarakat.

Baca Juga: Pastikan Suasana Kondusif Jelang Pilkada Serentak 2024, Polres Sidrap Razia Tempat Hiburan Malam hingga Kos-kosan

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam banyak kasus, masyarakat pada kenyataannya tidak selalu memilih calon pemimpin berdasarkan program kerja, visi, atau rekam jejak calon tersebut.

Sebaliknya, banyak pemilih yang lebih dipengaruhi oleh faktor-faktor non-rasional seperti kedekatan emosional, identitas kultural, serta pengaruh sosial yang kuat di sekitar mereka. Bahkan, dalam beberapa situasi, keputusan memilih seorang calon dapat dipengaruhi oleh insentif ekonomi, seperti praktik politik uang yang masih terjadi di beberapa daerah.

Dampak Fanatisme Terhadap Kondisi Ekonomi Masyarakat

Ilustrasi masa pendukung pasangan calon saat kampanye.

Dalam konteks politik, fanatisme sering kali muncul dari akar harapan yang mendalam di kalangan masyarakat khsusnya golongan ekonomi kelas bawah.

Meskipun masyarakat mungkin sadar bahwa dukungan mereka terhadap seorang calon tidak serta merta mengatasi masalah-masalah besar seperti kemiskinan atau pengangguran, ada keyakinan kuat bahwa calon tertentu memiliki potensi untuk membawa perubahan signifikan.

Harapan ini sering kali didasarkan pada persepsi, keyakinan, dan janji-janji politik yang tidak selalu didukung oleh bukti konkret atau rekam jejak yang solid.

Hal ini terungkap dalam penelitian oleh Susilo dan Oktavia (2021) yang dipublikasikan dalam Jurnal Studi Masyarakat dan Politik berjudul "Harapan dan Realitas: Dampak Dukungan Politik terhdap Kemiskinan".

Dalam penelitian tersebut menyoroti bahwa dukungan masyarakat terhadap calon pemimpin sering kali dipengaruhi oleh harapan akan adanya bantuan sosial atau proyek pembangunan yang dianggap akan memberikan dampak positif langsung terhadap kondisi ekonomi mereka.

Harapan ini, meskipun mungkin tidak selalu realistis, menjadi bahan bakar bagi fanatisme politik yang melampaui pertimbangan rasional.

Alasan di Balik Fanatisme Meski Dalam Kondisi Kemiskinan

Ilustrasi massa pendukung saat kampanye. Fanatisme politik adalah fenomena yang kompleks dan sering kali melibatkan berbagai faktor yang mempengaruhi perilaku pemilih. Salah satu alasan mengapa fanatisme dapat mengabaikan realitas ekonomi yang ada adalah karena pengaruh kuat dari jaringan sosial dan kelompok-kelompok di lingkungan masyarakat.

Penelitian oleh Suryani (2020), yang dipublikasikan di Jurnal Ilmu Sosial dan Humaniora, mengungkapkan bahwa tekanan sosial dari keluarga, teman, dan komunitas sering kali menjadi pendorong utama individu untuk mengadopsi sikap fanatik terhadap calon tertentu, meskipun mereka menyadari bahwa dukungan tersebut mungkin tidak membawa perubahan signifikan terhadap status ekonomi mereka.

Baca Juga: Pastikan Suasana Kondusif Jelang Pilkada Serentak 2024, Polres Sidrap Razia Tempat Hiburan Malam hingga Kos-kosan

Suryani menemukan bahwa di beberapa komunitas, loyalitas politik sering kali diwariskan dari generasi ke generasi. Misalnya, jika suatu keluarga atau komunitas telah lama mendukung partai politik tertentu, maka anggota baru dari keluarga atau komunitas tersebut kemungkinan besar akan mengikuti jejak tersebut tanpa banyak mempertimbangkan alternatif lain.

Hal ini menciptakan siklus dukungan yang sulit dipatahkan, di mana fanatisme politik terus berlanjut meskipun tidak ada perubahan signifikan dalam kehidupan ekonomi masyarakat.

Kesimpulan

Fenomena fanatisme dalam Pilkada, meskipun seringkali tidak rasional dan tidak selalu mengarah pada perbaikan ekonomi, tetap merupakan bagian integral dari dinamika politik di Indonesia.

Faktor emosional, identitas kultural, dan pengaruh sosial memainkan peran besar dalam mendasari dukungan yang kuat terhadap calon tertentu, bahkan ketika masyarakat sadar bahwa dukungan tersebut mungkin tidak membawa perubahan nyata pada kondisi ekonomi mereka.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Jurnal Nasional