INDOZONE.ID - Kedatangan Paus Fransiskus ke Indonesia dan akan menggelar Misa di Gelora Bung Karno, Jakarta pada Kamis (5/8/2024) disambut meriah oleh masyarakat Indonesia. Kendati dikenal sebagai negara dengan mayoritas Muslim terbesar di dunia, pemerintah mempersiapkan segala seuatunya untuk pemimpin umat Katolik secara global tersebut, termasuk toleransi.
Beberapa langkah telah ditunjukkan untuk nyamannya Paus Fransiskus di Indonesia. Sebut saja imbauan Menag untuk mengganti azan di televisi dengan running text saat Misa digelar sebagai salah satu contoh kecil toleransi antara agama.
Apalagi Paus juga mengadakan pertemuan antar tokoh beragama di Masjid Istiqlal yang bersebelahan dengan Katedral dengan melewati jembatan toleransi yang dibangun di bawah tanah serta menandatangani Deklarasi Bersama Istiqlal 2024: “Meneguhkan Kerukunan Umat Beragama untuk Kemanusiaan”.
“Sejatinya, nilai-nilai agama harus diarahkan untuk meningkatkan budaya hormat, martabat, bela rasa, rekonsiliasi, dan solidaritas persaudaraan untuk mengatasi dehumanisasi dan kerusakan lingkungan,” kata deklarasi tersebut, seperti yang dikutip dari ANTARA.
Toleransi itu Indah
Beberapa hal yang terlihat dari kunjungan Paus di Indonesia dan penerimaan tokoh agama lain menjadi kisah manis toleransi di kehidupan nyata. Hal itu juga yang harus dipertahankan dalam kehidupan bermasyarakat di Indonesia.
Indonesia adalah negara dengan keragaman etnis, sosial, agama, budaya, dan adat istiadat. Dalam aspek agama, Indonesia merupakan rumah bagi berbagai agama besar di dunia, seperti Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Kong Hu Chu. Selain itu, banyak juga aliran dan kepercayaan lokal yang tumbuh dan berkembang di sini.
Namun, Indonesia bukanlah negara yang berbasis agama, karena tidak ada agama negara yang diakui secara resmi. Indonesia menjamin kebebasan beragama bagi seluruh warganya, seperti yang tertuang dalam UUD 1945 Pasal 28E ayat 1.
Menurut rohaniwan Hindu I Wayan Sujana, S.Fil, tujuan toleransi beragama adalah meningkatkan iman dan ketakwaan masing-masing penganut agama dengan kenyataan ada agama lain.
"Dengan demikian, kita sebagai umat yang menganut ajaran agama, semakin menghayati dan memperdalam ajaran agama dan berusaha untuk mengamalkannya, mencegah terjadinya perpecahan antara umat beragama akibat perpedaan," katanya seperti ynag dikutip dari situs Kementerian Agama.
"Dengan terciptanya toleransi beragama, kita dapat saling melengkapi antara yang satu dengan yang lain dan menyatukan perbedaan. Jangan karena berbeda keyakinan dijadikan suatu permusuhan," tambahnya.
Toleransi diatur dalam Konstitusi
Dikutip dari Jurnal "Pengaturan Konstitusional Toleransi Beragama dalam Mewujudkan Perlindungan Hak Asasi Manusia di Indonesia" yang dirilis Fakultas Syariah dan Hukum, Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, penting untuk memiliki pengaturan konstitusional tentang toleransi beragama di Indonesia guna memastikan kebebasan berkeyakinan bagi setiap individu tanpa adanya paksaan dari pihak mana pun.
Kebebasan beragama harus selalu diatur dalam kerangka konstitusi negara agar keberagaman warganya dapat berkembang sesuai dengan kebebasan beragama. Tanpa adanya kebebasan bagi individu untuk menjalankan agama sesuai keyakinan mereka, peran negara dalam menjamin hak tersebut menjadi tidak efektif.
Pengakuan terhadap kebebasan beragama telah diatur dalam konstitusi Indonesia, yaitu dalam UUD 1945. Pasal 28E UUD 1945 menyebutkan bahwa:
- Setiap orang bebas memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai agamanya, memilih pendidikan, pekerjaan, kewarganegaraan, tempat tinggal di wilayah negara, dan meninggalkannya, serta berhak kembali.
- Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan, menyatakan pikiran dan sikap sesuai dengan hati nurani.
- Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.
- Aturan-aturan ini diharapkan dapat menjamin dan mendorong praktik toleransi beragama di seluruh Indonesia.
Konflik yang merusak indahnya toleransi
Kendati seperti itu, masih ada beberapa segelintir oknum yang seolah tak mengindahkan untuk menjalankan toleransi. Seolah lupa bahwa toleransi sudah diatur dalam undang-undang.
Dalam jurnal "Problematika Umat Beragama di Indonesia di Era Modern: Solusi dari Perspektif Al-Qur’an" yang diterbitkan UIN Antasari Banjarmasin, di Indonesia, pernah terjadi beberapa konflik agama yang mengakibatkan kerusuhan, merusak, menimbulkan keresahan di masyarakat, serta menyebabkan banyak korban dan kerugian baik material maupun moral.
Beberapa contoh kasus tersebut meliputi Situbondo pada tahun 1996, Tasikmalaya 1997, Sanggauledo 1997, Solo 1998, Kupang 1999, Sambas 1999, Ambon 1999, Pontianak 2000, dan Mataram 2000.
Selain itu, menurut penelitian dari The Wahid Institute, jumlah kasus terkait kebebasan beragama adalah sebagai berikut: pada tahun 2011 terjadi 267 kasus, pada tahun 2012 terjadi 278 kasus, pada tahun 2013 terjadi 245 kasus, pada tahun 2014 terjadi 78 kasus, dan pada tahun 2015 terjadi 190 kasus serta 249 tindakan.
Tak hanya itu, beberapa pelarangan ibadah dan pembangunan tempat ibadah atau pelarangan hijab di institusi dan pekerjaan masih banyak mewarnai yang merusak harmomisasi umat beragama.
Budayawan Edy Utama menyebutkan praktik pemeliharaan dan pengembangan rasa toleransi serta kerukunan umat beragama masih merupakan persoalan yang belum tuntas di Indonesia yang menjamin kebhinekaan dan keragaman budaya.
Baca Juga: Paus Fransiskus Serukan Peringatan terhadap Ekstremisme Agama di Indonesia
"Kita masih sering menyaksikan kekerasan-kekerasan sosial yang terjadi atas nama agama, baik yang bersifat horizontal maupun vertikal," kata Edy Utama dalam sebuah kesempatan yang dikutip dari Antara.
Menurutnya, masih ada kekhawatiran di kalangan masyarakat mengenai potensi konflik antar umat beragama, yang menunjukkan bahwa semua pihak perlu terus berjuang bersama untuk menciptakan kehidupan yang damai dan harmonis di antara sesama umat beragama.
Media Massa dan perannya dalam harmonisasi kerukunan umat
Edy Utama menjelaskan bahwa media massa memiliki peran penting dalam mencapai kerukunan tersebut, karena media berfungsi sebagai jendela yang memungkinkan masyarakat untuk melihat peristiwa yang sedang terjadi.
"Media sering kali dianggap sebagai cermin dari berbagai peristiwa di masyarakat Indonesia dan dunia, sehingga diharapkan mampu merefleksikan realitas secara objektif," ujarnya.
Dengan kata lain, media massa harus berfungsi sebagai penyaring yang menilai dan memilih informasi yang relevan, serta memberikan panduan untuk memahami ketidakpastian yang mengelilingi suatu peristiwa.
Terkait peran dan fungsinya yang penting dalam menjaga kerukunan beragama tersebut, media massa dengan jurnalis sebagai pelaku utamanya diminta dapat melihat persoalan kebebasan mengeluarkan pendapat sebagai hak asasi manusia, dengan dibarengi rasa tanggung jawab bahwa menjaga kerukunan umat beragama jauh lebih penting dari sekedar membuat sebuah publikasi.
"Setiap jurnalis harus membekali diri dengan pengetahuan dan pemahaman tentang agama resmi yang diakui pemerintah, agar mampu memberikan informasi yang objektif," ujar dia.
Baca Juga: Deretan Gelar Paus Fransiskus Selain sebagai Imam Tertinggi Gereja Katolik, Apa Saja?
Karena, lanjutnya, titik pandang seorang jurnalis tidak boleh bias hanya karena suatu sikap tertentu atau dari sisi agama yang dianutnya, sehingga menghasilkan opini yang mengandung banyak provokasi dan menjadi sumber perpecahan bahkan konflik diantara umat beragama.
"Jika media massa ikut terjebak dalam bahasa provokasi tersebut, maka hal itu akan tumbuh menjadi masalah baru dan meluasnya potensi konflik akan sulit dibendung," kata dia.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: ANTARA, Analisa Redaksi