Fenomena 'Marriage Is Scary' yang Viral: Wajah Pernikahan dari Perspektif Mata Generasi Kekinian
INDOZONE.ID - Trending 'Marriage is Scarry' di kalangan netizen sedang melanda di TikTok. Baik dari kalangan pria dan wanita muda mengakui bila kehidupan pernikahan bukan lagi prioritas mereka berangkat dari apa yang terjadi.
Sebenarnya trend itu bukan bahan baru. Anak muda era sekarang melihat apa yang terjadi di sekitar mereka. Mereka melihatnya banyaknya kegagalan dalam hubungan, susahnya mencari pasangan yang ideal, dan atau perceraian dalam rumah tangga karena berbagai masalah, telah menjadi pemantik semua itu.
Selain itu, prinsip dan prioritas hidup untuk lebih merdeka dan dan menjaga mental mereka terkadang juga menjadi salah satu alasan orang-orang lebih memilih untuk lebih menyendiri atau tak bergantung dengan satu pasangan.
Studi Penurunan Angka Pernikahan di AS Sejak Pertengahan 60-an
Fenomena ini sudah dipelajari di Amerika Serikat semenjak beberapa waktu lalu. Berdasarkan study dari Family Studies, ada sekitar 85% wanita berusia 25 tahun dan 75% pria berusia 25 tahun telah menikah pada 1967, yang merupakan puncak era Baby Boom. Sayangnya, pernikahan pada masa itu juga mencatatkan tingkat perceraian tertinggi dalam sejarah Amerika.
Tingkat perceraian ini memang luar biasa: pada tahun 1920, hanya 70% wanita berusia 25 tahun dan 50% pria berusia 25 tahun yang telah menikah. Tidak ada alasan untuk menganggap bahwa tingkat pernikahan di kalangan orang dewasa muda harus tetap pada level seperti era Baby Boom.
Baca Juga: Cegah Pernikahan Usia Dini, Wapres Ma’ruf Amin Punya Caranya
Namun, yang mencolok adalah bahwa saat ini hanya 20% wanita berusia 25 tahun dan 23% pria berusia 25 tahun yang telah menikah. Angka ini mendekati level terendah yang pernah tercatat untuk pernikahan. Banyak pengamat menyalahkan penurunan ini pada penundaan pernikahan yang meningkat. Walaupun ada kebenaran dalam hal ini, situasinya juga ekstrem pada usia yang lebih tua.
Seperti yang ditunjukkan oleh grafik di atas, proporsi orang yang telah menikah saat ini berada pada level terendah sepanjang sejarah untuk pria dan wanita berusia 35 tahun dan 45 tahun. Misalnya, hanya sekitar 60% pria berusia 35 tahun yang telah menikah saat ini, turun dari 90% pada tahun 1980. Tren ini juga menunjukkan bahwa semakin banyak orang Amerika yang tidak akan menikah sebelum usia terbaik mereka berlalu.
Grafik ini juga menampilkan garis putus-putus untuk proyeksi (atau estimasi masa depan). Proyeksi dilakukan dengan menggunakan data pernikahan dari orang Amerika yang lebih muda, dengan asumsi bahwa tingkat pernikahan mereka di masa depan mengikuti tren dari kelompok kelahiran di masa lalu, sambil mempertimbangkan adanya penundaan dan penyesuaian.
Baca Juga: Alasan Mendikbud Nadiem Izinkan Belajar Tatap Muka: Cemas Pernikahan Dini Meningkat
Periode proyeksi untuk proporsi orang yang telah menikah pada usia 45 tahun diperpanjang karena ada lebih banyak kelompok kelahiran di bawah usia 45 tahun dengan data pernikahan yang tersedia, memungkinkan proyeksi yang lebih yakin ke masa depan.
Di masa depan, kemungkinan tingkat pernikahan akan terus menurun. Penurunan pernikahan pada usia 25 tahun mungkin kini mulai melambat, tetapi efek dari penundaan sebelumnya akan terus berlanjut hingga usia yang lebih tua. Ini berarti, mungkin sepertiga pria dan wanita yang berusia 45 tahun pada tahun 2050 (yang saat ini berusia sekitar 18 atau 19 tahun) tidak akan menikah.
Perubahan ini akan berdampak dramatis bagi masyarakat Amerika. Hal ini menunjukkan bahwa penurunan fertilitas jangka panjang sulit untuk dicegah, mengingat pernikahan merupakan faktor utama yang membentuk perilaku fertilitas.
Tren ini juga dapat mengakibatkan berbagai dampak negatif seiring bertambahnya usia, termasuk meningkatnya kesepian dan isolasi. Manfaat pernikahan bagi individu dan masyarakat sangat besar, sehingga biaya dari penurunan pernikahan juga sangat signifikan.
Penurunan angka pernikahan di Indonesia
Menurut data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) 2024, angka pernikahan di Indonesia mengalami penurunan yang signifikan. Beberapa daerah mencatat penurunan yang cukup besar; misalnya, DKI Jakarta mengalami penurunan sebanyak 4.000 pernikahan, Jawa Barat turun sebanyak 29.000, Jawa Tengah menurun sekitar 21.000, dan Jawa Timur turun sekitar 13.000.
Pada tahun 2023, jumlah pernikahan di Indonesia tercatat sebanyak 1.577.255. Angka ini menurun sebanyak 128.000 dibandingkan dengan tahun 2022. Selama satu dekade terakhir, angka pernikahan di Indonesia telah menurun sebesar 28,63 persen.
Baca Juga: Aniaya Calon Istri Jelang Pernikahan, Pria Ini Langsung Diringkus Polisi
Penyebab Penurunan Angka Pernikahan
Fenomena penurunan angka pernikahan ini mendapat perhatian dari berbagai pihak, termasuk dari akademisi seperti Guru Besar Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Airlangga (UNAIR), Prof. Dr. Bagong Suyanto, Drs. MSi. Menurut beliau, penurunan ini disebabkan oleh semakin terbukanya peluang bagi perempuan untuk mengembangkan diri, baik dalam pendidikan maupun dunia kerja.
“Penurunan angka pernikahan ini terkait dengan semakin luasnya kesempatan bagi perempuan untuk bersekolah dan bekerja. Selain itu, ketergantungan perempuan terhadap pasangan juga semakin menurun,” jelas Prof. Bagong seperti yang dikutip dari situs Universitas Airlangga.
Di sisi lain, jumlah laki-laki dengan kondisi ekonomi yang stabil yang tersedia untuk menikah juga semakin berkurang. “Jumlah laki-laki dengan kondisi ekonomi mapan semakin menurun karena persaingan dalam dunia kerja semakin ketat,” tambah Prof. Bagong.
Menurut Prof. Bagong, penurunan angka pernikahan adalah fenomena yang wajar dan merupakan konsekuensi yang tidak dapat dihindari.
Baca Juga: Kejanggalan Aisha Weddings yang Tawarkan Pernikahan Dini, Benarkah Hanya Pengalihan Isu?
“Penurunan angka pernikahan dalam jangka panjang dapat berdampak pada penurunan angka kelahiran, namun hal ini tidak perlu dikhawatirkan secara berlebihan. Yang penting adalah memastikan bahwa fenomena ini berdampak positif bagi pemberdayaan perempuan dan masyarakat,” paparnya.
“Kita harus memastikan bahwa penurunan angka pernikahan juga diikuti dengan peningkatan kualitas dan modal sosial masyarakat,” tutupnya.
Sementara itu, menurut akademisi psikologi sosial Indriyani Santoso S.Psi, M.Si, tren ketakutan pernikahan diakibatkan oleh nerbagai macam faktor. Mulai dari kaitannya dengan fenomena ketidaksiapan diri, pengelaman orang yang gagal, termasuk fenomenan child free serta kesadaran akan populasi penduduk yang sudah terlalu padat.
"Pernikahan bukan hal jadi hal prioritas lagi buat milenials maupun gen z belakangan ini. Diawali gembar-gembor child free, sampai tren untuk menunda, bahkan jangan takut untuk tidak menikah belakangan ini," kata Indriyani saat dihubungi Indozone.
"Nah, millennials dan gen z yang saat ini dibenturkan pada overpopulation, yang dihaluskan perspektifnya jadi bonus demografi di negara ini," tambahnya.
Indri juga menyebutkan faktor masyaralat sekarang yang memiliki pendidikan lebih baik dari generasi sebelumnya menjadikan banyak dari anak muda memiliki pemikiran untuk apa menikah terlalu muda tanpa kesiapan dan tanggung jawab, yang terkadang juga terbawa sampai keinginan untuk lebih merdeka dan menjaga mental ketimbang dikungkung oleh pernikahan.
"Masalah ekonomi yang jadi masalah utama. Juga pendidikan yang sudah luas. Generasi ini mengenyam pendidikan yang cukup sehingga mereka paham benar arti tanggung jawab menikah, punya anak, dan berkeluarga," ucap Indri.
Sisi lain Pernikahan: Ada Perkembangan Kepribadian
Di sisi lain, ada beberapa orang yang memiliki perspektif berbeda dengan mereka yang takut untuk menikah. Bahkan dalam studi psikologi, banyak pasangan atau secara individu yang mereka memiliki perkembangan kepribadian lebih baik setelah pernikahan, seperti yang dialami beberapa pasangan yang berhasil memupuk cinta, membina keluarganya sampai saat ini.
Baca Juga: Pernikahan Dini di Kalangan Pengungsi Palu Marak
"Di sisi lain, manusia memiliki rentang hidup, di mana menikah, berkeluarga merupakan, tanggung jawab perkembangan. Tntu pernikahan adalah mata rantai, di mana bila tidak melewatinya, maka jalan perkembangan kepribadian seseorang akan berbeda."
"Dengan berkeluarga, individu belajar banyak tanggung jawab, berkembang menjadi pribadi yang merawat dan menghasilkan generasi selanjutnya," tambah Indriyani.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara Langsung, Analisis Redaksi