Aksi dukungan guru kepada Supriyani.
Lalu, Holy menyatakan, guru mesti lebih dewasa dalam memilih pendekatan yang pas kepada siswa dalam proses belajar-mengajar. Guru bisa menggunakan pendekatan-pendekatan restorative daripada punishment.
“Tidak ada yang bersikap paling arogan, karena sebenarnya kedua belah pihak menginginkan tujuan yang sama, yakni bagaimana membentuk pribadi anak dengan karakter yang positif,” tegas Holy.
Sementara itu, INDOZONE juga mewawancarai Ketua Umum (Ketum) PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., perihal pandangannya terhadap marak guru dipolisikan belakangan ini, termasuk kasus Supriyani.
Menurutnya, ada relasi tidak seimbang antara guru, siswa, dan orang tua. Relasi tidak seimbang membuat guru ada di posisi kurang nyaman, sehingga ada ketakutan dalam menjalankan tugasnya.
“Ada relasi tidak seimbang. Orang tua mendengar laporan anak, lalu secara sepihak melakukan tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, atau lainnya pada guru, sehingga ada apatisme, ada rasa ketakutan, daripada saya dipolisikan, misalnya,” ungkap Prof. Unifah.
Baca Juga: Geger! Guru PNS Lecehkan Murid SD, Jadi DPO Polres Jaksel
Selain itu, dia pun menjelaskan, kasus Supriyani menjadi momentum untuk menyadari betapa pentingnya perlindungan terhadap tenaga pendidik. Prof. Unifah menyatakan, PGRI berniat mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru.
“Kasusnya Ibu Supriyani itu, menjadi momentum bagi kita semua, betapa pentingnya perlindungan guru. Oleh karena itu, PGRI akan melihat permasalahan itu untuk mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru,” jelasnya.
Maksud Undang-Undang Perlindungan Guru, menurut Prof. Unifah, adalah untuk melindungi siswa dan guru. Dia pun memandang, Undang-Undang Perlindungan Guru dapat menyehatkan relasi antara guru dan siswa.
“Maksudnya untuk apa? Maksudnya untuk melindungi siswa dan guru, keduanya. Guru tetap bisa mendidik, tetapi ada batasannya. Karena itu, kami mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru, supaya relasi ini sehat,” beber Prof. Unifah.
“Kami sudah cukup lama menginginkan ini, tetapi kementerian meyakinkan kami, bahwa tidak perlu karena cukup banyak aturan, misalnya Undang-Undang (Nomor 14 Tahun 2005) Guru dan Dosen,” tambahnya.
Dia pun menekankan, bahwa keberadaan Undang-Undang Perlindungan Guru akan berjalan beriringan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan saling berhadapan satu sama lain.
Dia mengibaratkan Undang-Undang Perlindungan Guru akan memiliki mutual respect dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga disebut berjalan beriringan. Mutual respect ini pun berlaku dalam hubungan guru, siswa, dan orang tua.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara, UM Surabaya