INDOZONE.ID - Video guru enggan menegur siswa karena takut dipolisikan, viral di media sosial (medsos) belakangan ini. Meski ternyata hanya konten, video itu bak kritik atas banyaknya kasus guru dipolisikan.
Salah satu kasus yang mencuri perhatian publik, menimpa Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).
Sidang eksepsi guru honorer Supriyani.
Supriyani dituduh melakukan tindak kekerasan terhadap salah seorang siswanya di sekolah. Meski tidak mengakui tuduhan tersebut, Supriyani ditahan oleh Kejaksaan Negeri Konawe Selatan di Lapas Perempuan III Kendari pada 16 Oktober 2024.
Lalu, kasus Supriyani pun viral di medsos karena ramai diperbincangkan. Pada 24 Oktober 2024, Supriyani bebas dari penjara.
Meski begitu, proses hukum terhadap Supriyani tetap berjalan hingga kini menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andolo.
Baca Juga: Presiden Prabowo Rencanakan Tambah Gaji Guru Rp2 Juta, Hanya untuk Kriteria Tertentu!
Alhasil, kasus Supriyani hingga viralguru enggan menegur siswa karena takut dipolisikan, menjadi sorotan publik.
Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Holy Ichda Wahyuni, mengomentari maraknya kasus guru dipolisikan.
Menurut Holy, kegelisahan guru karena takut dipolisikan saat menjalankan tugasnya, merupakan sebuah ironi. Pasalnya, cita-cita mewujudkan pendidikan karakter bisa menjadi utopia belaka.
“Jika kegelisahan ini terus terjadi maka ini sangat ironi, bahwa cita-cita dalam mewujudkan pendidikan karakter, saya rasa akan menjadi utopia belaka,” kata Holy.
Dia menekankan, pentingnya penyamaan persepsi antara setiap elemen pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga orang tua. Sebab, mendidik karakter merupakan tanggung jawab bersama, bukan guru seorang, yang berujung pada pendewasaan semua pihak.
Baca Juga: Waduh! Guru PNS di Jaksel yang Jadi DPO Pelecehan Siswi SD Ternyata Sudah Dicari Polisi Sejak 2023
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara, UM Surabaya