Menanggapi terbitnya inpres tersebut, pakar Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dari Fisipol UGM Dr. Hempri Suyatna, menilai keberhasilan pengentasan kemiskinan tidak cukup hanya bergantung pada instruksi normatif, melainkan juga didukung tingkat implementasi menyelesaikan akar persoalan di lapangan.
"Substansi Inpres ini sudah bagus, tetapi yang lebih penting adalah bagaimana implementasinya. Jangan sampai hanya berhenti pada aturan di atas kertas," ujarnya, Rabu (30/4/2025).
Hempri menyebu, salah satu persoalan lain yang perlu dibenahi adalah perbedaan persepsi para pemangku kepentingan tentang konsep kemiskinan dan kesejahteraan.
Pasalnya data dan indikator masyarakat miskin dari Badan Pusat Statistik dengan Bank Dunia berbeda. Bahkan hingga saat ini ini masih sering terjadi ketidaksamaan pandangan antara pemerintah, swasta, hingga masyarakat tentang siapa yang masuk kategori miskin atau sejahtera.
“Jangan-jangan ketidakmampuan pengentasan isu kemiskinan selama ini disebabkan karena para pengambil keputusan tidak memiliki persepsi yang sama tentang konsep kemiskinan dan kesejahteraan sehingga memunculkan fenomena salah sasaran,” selidiknya.
Lanjut Hempri menyoroti tiga strategi utama dalam Inpres tersebut, yakni pengurangan beban pengeluaran, peningkatan pendapatan, dan penurunan kantong kemiskinan. Ia menilai pendekatan ini baik, tetapi perlu dilengkapi dengan penguatan dimensi sosial dalam upaya pengentasan kemiskinan.
"Kemiskinan jangan hanya dilihat dari dimensi ekonomi. Kita memiliki modal sosial yang kuat, seperti gotong royong dan solidaritas komunitas yang seharusnya dioptimalkan dan diberdayakan mengingat indeks kedermawanan dan religiositas masyarakat kita begitu tinggi," ungkapnya.
BACA JUGA Banyak Kasus Penyelundupan Benih Lobster di Indonesia, Dosen UGM Lakukan Penelitian
Kemudian Hempri menegaskan pentingnya fleksibilitas pendekatan di tiap daerah. Ia menilai bahwa Inpres ini harus berfungsi sebagai pedoman umum, sedangkan pelaksanaannya di tingkat daerah perlu disesuaikan dengan potensi dan kebutuhan lokal.
"Kalau diterapkan secara seragam tanpa mempertimbangkan karakteristik daerah, khawatirnya malah tidak efektif. Harus ada variasi model pembangunan sesuai kekuatan lokal masing-masing," jelasnya.
Di sisi lain, Hempri menyoroti persoalan klasik yang berulang dalam upaya pengentasan kemiskinan, yaitu lemahnya koordinasi antar-lembaga. Ia menyebutkan bahwa hingga kini tumpang tindih program masih kerap terjadi, baik di antara lembaga pemerintah sendiri, antara pemerintah dan swasta, maupun dengan masyarakat.
"Kita sudah punya BUMDes dan koperasi unit desa. Lalu muncul lagi koperasi merah putih. Ini menunjukkan kolaborasi dan koordinasi kita masih jauh dari ideal. Kalau setiap ganti rezim ganti kebijakan, kita terus mulai dari nol. Sebaiknya yang sudah ada diperbaiki dan diperkuat, bukan dihapus dan diganti," tuturnya.
Dalam konteks efisiensi anggaran yang saat ini digaungkan pemerintah, Hempri menegaskan pentingnya penerapan efisiensi yang adil dan merata di semua tingkat pemerintahan.
"Kalau daerah diminta berhemat, pusat juga harus sama. Jangan sampai pusat tetap jor-joran, ini soal keadilan," tegasnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Keterangan Pers