Melalui berbagai agenda kegiatan, festival ini diharapkan memperkuat posisi Yogyakarta sebagai kota budaya, sekaligus kota sastra.
Festival Sastra Yogyakarta juga menjadi perayaan hangat yang menyambut kembali pertemuan-pertemuan antar warga sastra se-nusantara di Kota Yogyakarta.
Festival Sastra Yogyakarta mengusung tema “MULIH” (2022), dan “SILA” (2023), sementara pada gelaran tahun 2024 ini, FSY merespon tema “SIYAGA” dalam sastra dan budaya.
'SIYAGA’, dimaknai sebagai ancangan sikap pelaku dan penikmat sastra dalam menghadapi perubahan besar yang sedang terjadi.
Arena, medan, ruang, dan media sastra tengah mengalami pergeseran signifikan. Intermedialitas mengemuka beriring dengan perubahan model produksi dan distribusi karya, yang berdampak pada munculnya cara-cara baru dalam menikmati sastra.
FSY berupaya membaca kembali medan sosial sastra dalam ulang alik dinamika budaya. Arena sastra tidak lagi sesederhana pasar bagi pengarang dan penerbit.
Baca Juga: Menteri PUPR Minta Mahasiwa KKN UGM Belajar Budaya Masyarakat
Namun, muncul pula pelaku kreatif lain yang mendapatkan manfaat dalam pasar sastra. Misalnya, ilustrator, penerjemah, pendengung (influencer satra/bookstagram), dan komunitas-komunitas kreatif dalam lingkaran sastra.
Tajuk ‘SIYAGA’ menautkan perayaan sastra ini untuk membaca realitas kebangsaan di masa transisi, sebagai upaya seni dalam merawat demokrasi. Sebagaimana gelombang sosial-politik selalu memantik riak dalam perjalanan sastra kita.
Sebagai peristiwa publik, SIYAGA menjadi ruang bersama untuk mempertanyakan kembali cara pandang kita atas keragaman praktik sastra, dan refleksi bersama di mana semestinya festival ini menempatkan diri.
Aneka tafsir tema tersebut akan dirangkai dalam festival yang diselenggarakan pada 28 - 30 November, di situs seni budaya terbaru kawasan selatan kota Jogja, Taman Budaya Embung Giwangan.
Kurator FSY 2024, Ramayda Akmal dalam catatannya menjelaskan FSY menawarkan tema “Siyaga” sebagai sikap diri bersastra yang sadar akan perubahan besar yang tengah terjadi itu.
Ia menilai, sikap tersebut mewujud pada keadilan dan keterbukaan pada peluang munculnya cara-cara baru dalam praktik bersastra.
Selain dalam ekosistemnya sendiri itu, sastra yang siyaga berarti sastra yang bisa menjadi ruang untuk membaca realitas-realitas eksternal yang melahirkannya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Rilis