photo/ANTARA News/ Nanien Yuniar
Paulus Arswendo Atmoliwoto atau Sarwendo dikabarkan meninggal dunia pada usia 70 tahun di kediamannya, Jalan Damai, Kompleks Kompas, Petukangan Selatan, Pesanggrahan, Jakarta Selatan, Jumat (19/7) sore. Ia berpulang dengan damai setelah berjuang melawan kanker prostat yang membuatnya sempat dirawat beberapa kali di rumah sakit.
Arswendo lahir di Surakarta, Jawa Tengah, pada 26 November 1948. Semasa hidup, ia telah menulis banyak novel, puluhan artikel, dan cerita rohani. Dia mulai merintis karir menjadi sastrawan sejak 1971. Karya sastra pertamanya kala itu adalah cerpen 'Sleko' di majalah Mingguan Bahari.
"Ada yang mengatakan saya ini gila menulis. Ini mendekati benar, karena kalau tidak menulis, saya pastilah gila, dan karena gila makanya saya menulis," begitulah Arswendo pernah berkata.
Tak hanya menulis, Arswendo juga aktif mengembangkan potensi diri. Ia banyak terlibat dalam berbagai organisasi budaya dan sastra, bahkan dia pernah menjadi pemimpin di Bengkel Sastra Pusat Kesenian Jawa Tengah, Solo, pada tahun 1972.
Dari semua karya sastra Arswendo, berikut beberapa karya-karyanya yang populer:
Novel 'Keluarga Cemara' terbit pertama kali di tahun 1981 dan hanya berisi 15 cerpen soal keluarga Abah, Emak, dan tiga anak perempuan: Euis, Cemara, dan Agil. Buku ini sudah beberapa kali cetak ulang. Pertengahan 1990-an sampai 2000-an, cerita ini dikembangkan menjadi serial sinetron dan kemudian diangkat menjadi film di tahun 2018.
Senopati Pamungkas sebelumnya dimuat di majalah HAI pada 1984 dalam bentuk cerita bersambung. Dua tahun kemudian, kisah silat tertuang dalam dijadikan buku. Isinya bercerita tentang kehidupan Upacara Wulung, seorang Senopati Pamungkas yang dipersiapkan Raja Kertanegara, raja terakhir Singosari.
Inilah kutipan teks yang tertera di sampul belakang buku tersebut:
"Ilmu segala ilmu itu adalah tepukan satu tangan, di mana satu tangan lebih terdengar daripada dua tangan. Di banyak negara diberi nama berbeda, tetapi intinya sama. Pasrah diri secara total. Diangkat sebagai senopati oleh Raden Wijaya, yang mendirikan Majapahit dengan satu tekad: "Seorang brahmana yang suci bisa bersemadi, tetapi seorang ksatria mempunyai tugas bertempur, membela tanah kelahiran."
Novel ini terbit di tahun 1981 yang mengisahkan seorang ibu dengan latar belakang sosial ekonomi lemah dan mengabdikan hidup kepada keluarga. Ibu tersebut merawat dan membesarkan anak-anaknya meski ada yang bukan darah dagingnya sendiri.
"Dalam kehidupan ada dua macam ibu. Pertama, sebutan untuk perempuan yang melahirkan anaknya. Kedua, sebutan untuk perempuan yang merelakan kebahagiaannya sendiri buat kebahagiaan anak orang lain, dengan rasa bahagia pula. Yang paling istimewa, jika dua macam sifat itu bergabung menjadi satu."
Imung menceritakan kisah detektif kecil, putra seorang kopral polisi di Magelang. Dikisahkan, Imung memiliki bakat dan kepandaian dalam menuntaskan segala permasalahan yang ada, termasuk teka-teki dan misteri di hadapannya. Kisah cerpen ini terbit sebagai novel tahun 1987 dan diterbitkan ulang sebagai novel pada 2015.
Seorang gadis bernama Ayang menderita kelainan batuk, sebenarnya karena dikutuk setiap kali dipeluk. Nasib Ayang benar-benar malang. Ia menderita. Setiap kali batuk, satu giginya tanggal, hingga akhirnya ia ompong. Pandangannya kosong. Untuk mengganti giginya yang tanggal, dipasang gigi anjing.
Begitulah alur cerita dalam buku 'Rabu Rasa Sabtu' karya Arswendo. Kisah fiksi ini diterbitkan perdana pada tahun 2015.
Berikutnya adalah Dewi Kawi yang menceritakan kisah dua perempuan, Eling dan Kawi yang menjalin cinta masa muda. Eling adalah seseorang yang pada masa mudanya penuh dengan kepahitan hidup, sementara Kawi seorang penghuni di kompleks pelacuran.
"Eling, pernah hidup dari sisa-sisa daun kol yang membusuk, juga pernah hidup bercinta dengan perempuan yang dinamai, atau menamakan diri, Kawi. Eling, yang namanya juga tak begitu dikenali secara lengkap oleh Kawi, pernah hidup kaya, terkenal, dan menjadi juragan," begitulah sedikit kutipan di dalam cerita Dewi Kawi.
Novel ini terbit pertama pada tahun 1986 dan sudah beberapa kali cetak ulang. Karya sastra Arswendo ini menceritakan tentang seorang perempuan Jawa bernama Ni. Ia merupakan sarjana farmasi yang demi mempertahankan perusahaan batiknya melawan keterpurukan arus batik print. Ni harus berbuat banyak hal termasuk “tidak menjadi Jawa”.
Semula, novel ini diterbitkan sebagai cerita bersambung di Harian Kompas dengan subjudul, "Sebuah Roman Keluarga".
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: