Kamis, 29 AGUSTUS 2024 • 14:13 WIB

Mengetuk Nurani Kepolisian: Sikap Represif dan Kekerasan Polisi yang Kebablasan dan Tak Berujung

Author

Ilustrasi kekerasan polisi saat mengamankan demo. (INDOZONE)

INDOZONE.ID - Kejadian kekerasan polisi saat demo kembali terjadi. Termasuk saat aksi demo menolak sidang Revisi UU Pilkada beberapa hari lalu di berbagai wilayah di Indonesia.

Berbagai foto dan video yang beredar di media sosial memperlihatkan adegan oknum polisi yang melakukan kekerasan terhadap peserta demo yang ingin menyuarakan aksinya, bahkan kerap melakukan kekerasan terhadap jurnalis saat meliput demo.

Belum lagi tentang pertentangan akan adanya penggunaan gas air mata saat demo. Rentetean cukup panjang, bahkan bukan hanya saat demo tapi juga digunakan di tragedi Kanjuruhan, Malang pada 2022 silam.

Meski hal itu diperbolehkan, banyak pihak dan pengamat yang mengkritisi kebijakan tersebut dan berharap ada keadilan atas kekerasan yang dilakukan para oknum kepolisian.

Baca Juga: Kecam Aksi Kekerasan Polisi Saat Amankan Pendemo Kemarin, IPW: Akses Bantuan Hukum Dibatasi!

Kekerasan polisi adalah masalah global

Ilustrasi pengamanan bentrokan polisi dalam aksi massa dan gas air mata.

Kekerasan polisi yang terjadi di Indonesia sebenarnya bukan hanya masalah ruang lingkup nasional saja. Kasus ini juga kerap terjadi secara internasional, bahkan kekerasannya bukan sekedar gas air mata dan aniaya fisik saja, tapi juga pembunuhan.

Meskipun ada peningkatan aktivisme dan protes publik di Amerika Selatan, pembunuhan oleh polisi terhadap warga sipil terus meningkat menurut datayang dikutip dari policebrutalitycenter.org.

Pada tahun 2023, polisi menembak dan membunuh 1.160 orang, naik dari 1.097 orang pada tahun 2022, menurut Statista. Angka ini terus meningkat sejak tahun 2017, ketika 987 orang kehilangan nyawa akibat penembakan oleh polisi.

Hingga Februari 2024, tingkat penembakan fatal terhadap warga kulit hitam adalah 5,9 per juta penduduk per tahun, dibandingkan dengan 2,3 per juta untuk orang kulit putih.

Statistik ini hanya mencakup penembakan dan tidak termasuk mereka yang dibunuh oleh polisi dengan cara lain. Menurut Mapping Police Violence, sebuah proyek penelitian kekerasan polisi terkemuka, polisi membunuh setidaknya 1.352 orang pada tahun 2023.

Baca Juga: Aksi Demo Kawal Putusan MK di Semarang Ricuh, Gas Air Mata Menyasar Anak-Anak TPQ

Kekerasan polisi di Indonesia

Banyak pihak menilai bahwa tindakan kepolisian dalam menangani unjuk rasa sering kali melanggar hak asasi manusia, dan jumlahnya terus meningkat setiap tahun.

Mengutip jurnal "Perlindungan Hukum Terhadap Massa Aksi sebagai Korban Tindakan Represif" yang dirilis Fakultas Hukum Universitas Muslim Indonesia Makasar, Sulawesi Selatan (2020), data dari YLBHI-LBH (Lembaga Bantuan Hukum), tindakan represif oleh kepolisian semakin meningkat pada tahun 2019 dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya.

Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 19 kasus, tahun 2018 sebanyak 18 kasus, dan pada tahun 2019 meningkat tajam menjadi 33 kasus. Peningkatan ini menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan.

Seorang mahasiswa terjatuh saat terkena semprotan air dari kendaraan water canon milik polisi. (ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat/nym)

Kepolisian bukan saja melakukan tindakan refresif untuk memukul mundur masa aksi dilapangan untuk melakukan penertiban, akan tetapi kepolisian juga sering bertindak di luar kewenangannya, seperti melakukan penangkapan orang yang hanya dianggap sebagai peserta aksi, penganiayaan atau bahkan penyiksaan terhadap masyarakat sipil.

Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam aksi unjuk rasa, sering muncul provokator yang menyebabkan kerusuhan, dan ini menjadi pemicu awal konflik antara massa aksi dan aparat kepolisian.

Kapolri dikritik

Insiden yang terjadi di depan Gedung DPR/MPR RI menggambarkan eskalasi ketegangan antara aparat dan demonstran. Massa aksi yang awalnya melakukan protes damai berubah menjadi ricuh ketika mulai melemparkan batu dan menjebol pagar Gedung DPR. Pada akhirnya, aparat kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa, yang justru menimbulkan kekhawatiran akan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat luas.

Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) baru-baru ini mendesak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi metode pengamanan yang digunakan saat menghadapi demonstrasi.

Desakan ini muncul setelah terjadinya kekerasan berlebihan dan penggunaan gas air mata dalam pengamanan massa aksi menolak RUU Pilkada beberapa waktu lalu.

Baca Juga: Kapolri Memimpin Upacara Hari Juang Polri Perdana di Surabaya, Kenang Perjuangan Polisi

Poengky Indarti, salah satu Komisioner Kompolnas, menyatakan bahwa Polri perlu lebih terbuka dalam menerima kritik masyarakat, terutama terkait pola pengamanan yang diterapkan dalam demonstrasi. Penggunaan gas air mata dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat dalam berbagai aksi di beberapa daerah, termasuk di Jakarta dan Semarang, memicu reaksi keras dari masyarakat.

Sejumlah mahasiswa membawa foto korban kekerasan oknum aparat saat unjuk rasa di depan Polres Kediri Kota, Kota Kediri, Jawa Timur, Selasa (27/8/2024). (ANTARA FOTO/Prasetia Fauzani/aww)

"Penggunaan Kekuatan Polri sudah ada aturannya yaitu Perkap no. 1 tahun 2009 ttg Penggunaan Kekuatan. Selain itu juga ada Perkap no. 8 tahun 2009 ttg Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Nah, dua aturan tersebut harus dilaksanakan dengan baik," kata Poengky di hadapan wartawan.

"Nah, untuk pelaksanaannya di beberapa daerah, termasuk di Jakarta dan Semarang, harus diakui mendapat reaksi masyarakat, terutama penggunaan gas air mata dan kekerasan berlebihan yang diduga dilakukan aparat. Terhadap kritikan masyarakat tersebut, Polri perlu membuka diri dengan melakukan evaluasi pelaksanaan operasi pengamanan, apakah benar semua anggotanya telah bertindak profesional? Misalnya penggunaan gas air mata, apakah benar sudah sesuai kebutuhan?," tambahnya.

Penggunaan gas air mata, meskipun tidak mematikan, tetap memerlukan kehati-hatian. Dampak dari gas air mata, seperti sesak napas dan luka-luka, dapat memengaruhi masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam aksi demonstrasi. Oleh karena itu, evaluasi mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan pengamanan tidak menimbulkan dampak yang lebih luas dan merugikan.

Menurut Poengky, Polri harus mengevaluasi apakah anggotanya telah bertindak profesional dan apakah penggunaan gas air mata tersebut benar-benar diperlukan dan proporsional.

Baca Juga: Komplotan Pencuri Tiang Internet di Bekasi Berhasil di Ringkus Warga, Satu Pelaku Diduga Oknum Polisi

"Apakah tidak berlebihan dalam menembakkan gas air mata, sehingga masyarakat yang tidak ikut demonstrasi turut terkena dampaknya. Memang benar bahwa gas air mata tidak mematikan, tetapi penggunaannya juga harus berhati2, jangan sampai menyebabkan orang luka2 atau sakit, misalnya yang sesak nafas kalau tidak sengaja menghirup gas air mata pasti berdampak serius," pungkasnya.

Langkah yang diambil Kompolnas ini menyoroti pentingnya evaluasi dan pembenahan dalam penanganan demonstrasi, agar aparat keamanan tetap menjalankan tugas mereka dengan profesional dan proporsional, tanpa melanggar hak-hak asasi manusia.

Desakan dari koalisi masyarakat sipil

Tak hanya dari Kompolnas, sejumlah perwakilan dari masyarakat dan aktivis HAM bertemu dengan penasihat ahli dan staf ahli Polri, termasuk Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Hadi Gunawan dan Kadivpropam Irjen Abdul Karim. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan tiga poin penting terkait kebijakan Polri dalam menangani unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia.

Pertama, perwakilan tersebut mempertanyakan kebijakan Polri dalam penanggulangan unjuk rasa yang dinilai terlalu represif. Mereka mengungkapkan bahwa di setidaknya 12 kota, termasuk Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar, terjadi tindakan kekerasan yang dianggap berlebihan oleh aparat kepolisian.

"Kami menyampaikan di berbagai kota itu, kepolisian juga melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak diperlukan, penggunaan kekuatan yang eksesif termasuk water cannon, gas air mata, juga tindakan pemukulan," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid kepada Indozone.

Mereka juga menyoroti tindakan penangkapan dan penahanan yang dinilai sewenang-wenang, serta sulitnya akses bagi advokat dari lembaga bantuan hukum untuk mendampingi mereka yang ditangkap.

"Bahkan sejumlah advokat dari lembaga bantuan hukum dan sejumlah lembaga masyarakat lainnya itu mendapatkan kendala di dalam mengakses mereka yang ditangkap padahal mereka punya hak bisa didampingi," lanjutnya.

Kedua, mereka menyampaikan kekhawatiran bahwa pengamanan semacam ini mungkin terkait dengan kurangnya netralitas kepolisian dalam kontestasi elektoral.

Baca Juga: Resmi! Kapolri Larang Media Beritakan Kekerasan Polisi, Diminta Beritakan yang Baik Saja

"Menjelang pilkada kali ini, juga itu kembali tampak, dan itu bisa kami pahami sebagai tindak yang bisa jadi dipengaruhi oleh kedekatan Kapolri dengan presiden," kata mereka. Perwakilan tersebut menekankan bahwa kepolisian seharusnya bersikap netral dan berada di tengah-tengah antara kepentingan pemerintah, negara, dan masyarakat.

Ketiga, perwakilan juga menyoroti dugaan kepemilikan alat-alat penyadap oleh Polri, yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi.

"Kami menduga kepolisian memiliki alat-alat sadap dan ini sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi seperti pegasus," ujarnya merujuk pada penelitian Amnesty International yang mengungkap pembelian alat sadap tersebut dari Israel melalui Singapura.

Dalam pertemuan tersebut, mereka juga menyampaikan desakan agar Kapolri bertanggung jawab atas tindakan represif yang terjadi di berbagai wilayah. Bahkan, jika diperlukan, mereka meminta Kapolri untuk mundur dari jabatannya.

"Kami benar-benar mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan itu. Bahkan kami tadi menyampaikan kalau perlu Kapolri mundur," tegas mereka.

Diharapkan, masukan dari masyarakat dan pihak-pihak terkait bisa mengetuk hati nurnai kepolisian agar tak ada kejadian serupa di masa depan. Janji jangan hanya diucapkan, tapi juga ditepati.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Wawancara, Analisis Redaksi