INDOZONE.ID - Belakangan ini, kita sering melihat atau mendengar pejabat negara maupun public figure yang diberikan gelar akademik kehormatan seperti Doctor Honoris Causa. Fenomena ini tampaknya semakin marak dan memunculkan pertanyaan terkait kredibilitas pemberian gelar tersebut.
Salah satu contoh terbaru adalah artis sekaligus influencer Raffi Ahmad, yang menerima gelar Doktor Kehormatan (Dr. HC) dari Universal Institute of Professional Management (UIPM), Bangkok, Thailand.
"Alhamdulillah, terima kasih atas pemberian Gelar Doktor Kehormatan (Dr. HC) kepada saya dari Professor Kanoksak Likitpriwan, President Universal Institute of Professional Management (UIPM), Thailand," tulis Raffi Ahmad dalam postingan Instagramnya.
Baca Juga: Anies Baswedan Akan Berikan Kuliah Umum di Sophia University Tokyo
Kasus Raffi Ahmad ini mengundang berbagai reaksi, terutama kritik dari masyarakat yang mempertanyakan seberapa mudahnya seseorang mendapatkan gelar akademik tanpa melalui proses perkuliahan formal. Beberapa menganggap bahwa gelar kehormatan semacam ini mulai kehilangan makna, seolah-olah hanya menjadi simbol status sosial tanpa nilai akademik yang sesungguhnya.
Standar dan Etika dalam Pemberian Gelar
Dalam konteks akademik, fenomena pemberian gelar honoris causa memang sah-sah saja, namun harus diperhatikan standar dan etika pemberian gelar tersebut. Penelitian oleh Zhuang dan Shen (2020) menyatakan bahwa gelar kehormatan seharusnya diberikan kepada individu yang telah memberikan kontribusi besar di bidang ilmu pengetahuan, budaya, atau sosial, bukan semata-mata karena popularitas atau kekayaan.
Dalam beberapa kasus, pemberian gelar tanpa dasar yang jelas justru dapat merusak integritas institusi pendidikan tinggi yang bersangkutan (Huang & Yang, 2021). Selain itu, fenomena ini juga memperlihatkan adanya perubahan nilai di masyarakat terkait pendidikan.
Sebuah studi oleh Ng et al. (2019) menunjukkan bahwa generasi muda semakin menganggap pendidikan formal sebagai beban dibandingkan sebagai jalan menuju pengembangan diri. Hal ini tercermin dalam banyaknya figur publik yang lebih tertarik pada pengakuan simbolis daripada meraih pengetahuan secara formal.
Baca Juga: Hadir Dalam Sarasehan KSPSI DIY, Bupati Sleman Janjikan Kuliah Bagi Anak Buruh Tidak Mampu
Studi tersebut juga mengungkapkan bahwa fenomena ini dapat mempengaruhi persepsi publik terhadap pentingnya pendidikan tinggi, yang pada akhirnya dapat melemahkan semangat belajar di kalangan masyarakat.
Dari perspektif sosiologis, penghargaan berlebihan terhadap simbol-simbol akademik tanpa proses pendidikan yang jelas dapat menciptakan jurang antara makna gelar dan kualitas intelektual yang sesungguhnya. Motivasi kampus-kampus dalam memberikan gelar kehormatan pun harus dipertanyakan. Apakah benar gelar ini diberikan berdasarkan kontribusi nyata, ataukah semata-mata demi memperkuat jaringan sosial atau bahkan untuk kepentingan komersial?
Keresahan Para Akademisi
Sebagai mahasiswa S3 yang telah melalui perjuangan berat hingga kesehatan terganggu, Irmawati Oktavianingtyas merasa bahwa penganugerahan gelar doktor kehormatan (HC) tidak selalu mencerminkan keadilan bagi mereka yang berjuang melalui jalur akademik formal.
Menurut mahasiswa Universitas Sahid ini, meskipun kontribusi Raffi Ahmad di industri hiburan dan digital patut dihargai, pengakuan yang lebih valid seharusnya diberikan oleh lembaga akademis berkualitas dan terkemuka, baik di Indonesia maupun di luar negeri.
“Hal ini akan memastikan bahwa penghargaan tersebut benar-benar mencerminkan prestasi yang terukur dan mengurangi potensi kontroversi yang mungkin muncul, serta memberikan legitimasi yang lebih besar terhadap gelar yang diberikan,” ujarnya kepada Indozone, Selasa (1/10/2024).
Baca Juga: Jepang Akan Gratiskan Biaya Kuliah untuk Keluarga yang Punya 3 Anak
Selain itu, ia juga menyoroti lembaga akademis yang memberikan gelar doktor kehormatan untuk melakukan evaluasi yang objektif dan transparan. Mereka perlu memastikan bahwa penghargaan ini tidak semata-mata didasarkan pada popularitas atau ketenaran individu, melainkan pada dampak nyata yang telah diberikan kepada masyarakat, baik dalam ranah sosial, ekonomi, maupun akademis.
“Pengakuan seperti ini harus mencerminkan kontribusi yang signifikan dan terbukti, sehingga dapat dihargai sebagai prestasi yang sepadan dengan gelar yang diberikan,” ungkapnya.
Dengan maraknya fenomena "ingin gelar tanpa kuliah," masyarakat perlu kritis dan institusi pendidikan harus memiliki standar pemberian gelar yang lebih ketat. Jika tidak, gelar akademis berisiko menjadi sekadar komoditas yang diperjualbelikan, bukan sebagai lambang pencapaian akademik yang sesungguhnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara, Jurnal Internasional