Selasa, 18 JUNI 2024 • 10:14 WIB

Mengamini dengan Serius Politik Uang: Masyarakat Lebih Senang Diajak Makan Ketimbang Diajak Berpikir

Author

Ilustrasi politik uang. (ANTARA FOTO)

INDOZONE.ID - Saat ini politik uang (money politics) telah menjadi bagian yang tak bisa terpisahkan dalam proses pemilihan umum di banyak negara, termasuk Indonesia.

Fenomena ini cukup mencerminkan kecenderungan masyarakat yang lebih mudah terpengaruh oleh insentif materi daripada program atau visi-misi politik. Alih-alih ingin mengetahui langkah para kandidat ke depannya, mereka cenderung untuk menjual suara di awal.

Hal ini tentunya mengarah pada kesimpulan yang sangat memprihatinkan yakni masyarakat lebih senang diajak makan daripada diajak berpikir.

Realitas Politik Uang di Indonesia

Ilustrasi praktik politik uang. (Freepik)

Politik uang dengan segala bentuknya, sudah menjadi praktik umum dalam pemilu di Indonesia baik itu Pilpres, Pileg hingga Pilkada. Mulai dari pemberian uang tunai, sembako, hingga ajakan makan bersama, para politisi menggunakan berbagai cara untuk menarik dukungan.

Baca Juga: Politik Uang Jadi Pelanggaran Terbanyak Ditemukan Polri saat Pemilu 2024

Hal ini tentunya tidak hanya merusak integritas pesta demokrasi, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap proses demokrasi di Tanah Air. Bahkan, menurut berbagai survei, banyak masyarakat yang menerima politik uang sebagai sesuatu yang biasa dan bahkan diharapkan.

Mereka melihat pemberian materi ini sebagai manfaat langsung yang dapat mereka nikmati, berbeda dengan janji-janji politik yang seringkali tidak terealisasi. Fenomena ini menunjukkan bahwa bagi sebagian besar masyarakat, insentif langsung lebih menarik daripada konsep abstrak seperti visi, misi, atau program kerja calon pemimpin.

Mengapa Masyarakat Lebih Senang Diajak Makan?

Ilustrasi uang bansos. (Foto/Unsplash/Mufid Majnun)

Dalam reportase langsung di lapangan di beberapa daerah, Indozone menemukan fakta bahwa sda beberapa faktor yang menyebabkan masyarakat lebih senang diajak makan daripada diajak berpikir:

  • Kebutuhan Ekonomi: Banyak warga yang hidup di bawah garis kemiskinan. Bagi mereka, bantuan langsung berupa uang atau makanan memiliki dampak nyata dan segera terhadap kesejahteraan mereka.
  • Ketidakpercayaan pada Sistem: Pengalaman buruk dengan janji-janji politik yang tidak ditepati membuat masyarakat menjadi skeptis. Mereka lebih memilih manfaat langsung daripada janji yang belum tentu terealisasi.
  • Minim Pendidikan Politik: Tingkat literasi politik yang rendah membuat masyarakat kurang memahami pentingnya visi dan misi politik yang baik. Mereka lebih fokus pada manfaat jangka pendek daripada konsekuensi jangka panjang.

"Daripada dia janji-janji baru nanti dia sudah naik (dilantik) jadi walikota baru dia lupakan kita, lebih baik dia kasi sekarang. Mau uang, beras atau apa, kita terima. Janganmi janji-janji, mending kasi sekarang," ujar Wa Ati, salah seorang warga di Kota Baubau.

Dampak Negatif Politik Uang

Ilustrasi uang bansos. (Pexels)

Dalam sebuah praktik politik uang, pastinya ada dampak yang sangat merugikan, baik bagi demokrasi maupun pembangunan negara. Beberapa dampak negatif tersebut adalah:

  • Korupsi dan Kolusi: Para politisi yang menggunakan politik uang cenderung korup, karena mereka merasa perlu mengembalikan 'investasi' mereka setelah terpilih. Hal ini memperburuk budaya korupsi dan kolusi di pemerintahan.
  • Pemimpin yang Tidak Kompeten: Politik uang bisa membawa pemimpin yang tidak kompeten ke dalam posisi penting. Akibatnya, kebijakan publik menjadi tidak efektif dan tidak menguntungkan masyarakat luas.
  • Terkikisnya Kepercayaan Publik: Ketika masyarakat menyadari bahwa pemilu dimanipulasi dengan uang, kepercayaan mereka terhadap demokrasi dan institusi publik menurun. Ini bisa mengarah pada apatisme politik dan menurunnya partisipasi pemilih.

Baca Juga: 9 Fakta Tewasnya Presiden Iran Raisi: Dari Dampak Politik Hingga Proses Pemilu Dalam 50 Hari

Mengatasi dan Mengantisipasi Politik Uang

Ilustrasi politik uang. (ANTARA FOTO)

Mengatasi politik uang memerlukan upaya bersama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, masyarakat sipil, dan media. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:

  • Pendidikan Politik: Meningkatkan literasi politik di kalangan masyarakat agar mereka lebih memahami pentingnya memilih berdasarkan visi dan program kerja, bukan insentif materi.
  • Penegakan Hukum: Memperketat pengawasan dan penegakan hukum terhadap praktik politik uang, termasuk memberikan sanksi tegas bagi pelaku.
  • Transparansi dan Akuntabilitas: Mendorong transparansi dalam pendanaan kampanye dan mengawasi aliran dana politik untuk mencegah penyalahgunaan.
  • Partisipasi Aktif Masyarakat: Mendorong masyarakat untuk lebih aktif terlibat dalam proses politik dan tidak hanya menjadi penerima pasif insentif politik.

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Lampung mengatakan pihaknya berkomitmen penuh untuk mencegah praktik politik uang (money politics) pada pemilihan kepala daerah (Pilkada) 2024 kali ini. Langkah-langkah pencegahan akan dimaksimalkan untuk mempersempit kemungkinan adanya praktik politik uang.

"Tentunya dalam Pilkada ini kami lebih mengutamakan pencegahan, tetapi bila masih tidak mempan juga, maka akan dimasukkan dalam ranah penanganan pelanggaran,” kata Koordinator Divisi Penanganan Pelanggaran Bawaslu Provinsi Lampung Tamri, di Bandarlampung, Minggu (16/6/2024) seperti dikutip dari Antara.

Kesimpulan

Politik uang menjadi cermin dari masalah yang lebih besar dalam demokrasi kita. Untuk mewujudkan pemilu yang adil dan menghasilkan pemimpin yang kompeten, diperlukan upaya sistematis untuk mengatasi praktik ini.

Masyarakat harus diajak berpikir kritis dan memahami pentingnya integritas dalam proses politik, bukan sekadar mencari keuntungan jangka pendek. Hanya dengan demikian, demokrasi sejati dapat terwujud, dan kesejahteraan masyarakat dapat tercapai secara berkelanjutan.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Liputan Dan Wawancara