BACA JUGA: Didatangi Warga Terdampak Wacana Penggusuran Kawasan Stasiun Lempuyangan, DPRD DIY : Jangan Sampai Ada yang Terlantar "Nah, sekarang kalau misalkan tiba-tiba kita diusirlah istilahnya tidak ada tempat tinggal, tidak ada tempat usaha, (mohon maaf) kemudian kita terus-terusan jadi gelandangan. Tidak ada penghasilan, tidak ada tempat tinggal. Mereka tidak memikirkan itu," lanjutnya.
Kendati begitu, Wisnu berharap para pemangku kepentingan tersebut ada itikad baik kepada warga. Termasuk memberikan bantuan usaha dan tempat tinggal yang layak.
"Harusnya kan sebelum ada SP segala macam, harus ada dulu kesepakatan bersama, utamanya bagaimana kelanjutan hidup warga ini mendapatkan tempat tinggal, ganti rugi atau ganti untung, dan tempat usaha," harap Wisnu.
"Kita kan juga berharap, begitu mereka hendak melaksanakan beautifikasi nantinya, mungkin ada kios-kiosnya kan. Nah mungkin (kios-kios) itu warga bisa dikasih satu-satu. Jadi, kita pergi dari sini, ada tempat usaha yang untuk kelanjutan hidup," lanjutnya.
Wisnu yang telah lama tinggal dilokasi itu selama 50 tahun, selama hidupnya hanya menggantungkan dari pekerjaannya sebagai juru parkir dilokasi itu. Ia juga meyayankan Kraton Yogyakarta belum ada sikap tegas terhadap permasalahan yang dihadapi 14 Kepala Keluarga (KK) tersebut.
"Terus terang kita hidup penghasilan kita dari tempat parkir, itu pun juga istilahnya tidak berlebih , hanya bisa hidup untuk satu bulan itu juga Alhamdulillah. Selama ini tidak ada dari PT KAI mengerti terhadap perasaan dan bagaimana nanti kita hidup. Bahkan, mohon maaf, Kraton pun kayaknya juga ikut berperan dalam mengusir kita dari sini ada perannya. Tidak ada, kalau mereka bilang jadi penengah atau mediator," ucap Wisnu.
"(Sekali lagi) Harapan kita, yang pertama kalau misalkan kita memang tidak dikasih untung ya paling tidak tempat yang layak. Yang kedua, dikasih atau tempat usaha yang bagus, yang layak setidaknya penghasilannya hampir sama dengan apa yang kita tinggalkan," pungkas Wisnu.
Sementara itu, sebagai pendamping hukum Warga Lempuyangan dari LBH Yogyakarta, Raka Ramadan, menegaskan, persoalan ini tidak bisa disamakan dengan konflik lahan KAI di daerah lain.
“PT KAI Daop 6 Yogyakarta harus melakukan pendekatan yang lebih khusus, dengan berbeda konflik-konflik PT KAI di daerah yang lain. Kalau di daerah lain, KAI mengklaim tanah dan bangunan sebagai milik perusahaan. Tapi di kasus ini, kalau KAI mengaku memiliki tanah atau bangunan, harus jelas legalitas dan silsilahnya. Jadi kami perlu ada diskresi di internal PT KAI Daop 6 maupun pusat untuk menanggapi kasus ini,” ujar Raka.
Raka juga menyoroti, warga transparansi informasi terkait surat keputusan arah, serta prosedur kebijakan perusahaan yang dianggap kurang jelas dalam proses sosialisasi.
Respons Daop 6 Yogyakarta
Menganggapi hal itu, Humas PT KAI Daop 6 Yogyakarta, Manager Humas Daop 6 Yogyakarta Feni Novida Saragih, menjelaskan, KAI dalam menyelesaikannya sudah menjalankan semua tahapan sesuai dengan prosedur perusahaan, termasuk sosialisasi dan mediasi yang difasilitasi pihak Keraton Yogyakarta.
"KAI dalam proses ini semua melaksanakan sesuai prosedur yang berlaku di perusahaan. Kita sudah melakukan sosialisasi dan mediasi. Saat kesepakatan belum tercapai, kita kirimkan surat peringatan pertama. Setelah tenggat waktu tidak terpenuhi, kita lanjutkan ke SP2, dan nanti SP3 jika masih belum ada tindak lanjut," ujar Feni saat ditemui di kantornya, Kamis (5/6/2025).
BACA JUGA: Polemik Rencana "Beautifikasi" Stasiun Lempuyangan, DPRD Kota Yogya Akan Bantu Warga Temui GKR Mangkubumi Urus "Kekancingan"
Ia juga menegaskan, ongkos bongkar bangunan telah disampaikan kepada warga, dan sesuai dengan surat arah. Sedangkan terkait permintaan warga, agar ada ganti usaha pun tidak dapat dipenuhi karena tidak sesuai dengan prosedur perusahaan.
“Ongkos bongkar sudah disampaikan saat sosialisasi. Tapi soal rekomendasi ganti usaha itu tidak sesuai dengan prosedur KAI. Kita tetap berpedoman pada aturan yang berlaku di pusat,” jelasnya.
Sesuai jadwal yang telah ditetapkan, warga diminta untuk mengosongkan area hingga batas akhir 30 Juni 2025. Jika tidak, proses pengosongan akan dilanjutkan dengan mekanisme resmi perusahaan.