INDOZONE.ID - Buku di era digital ini seperti harta karun, dimana orang mulai jarang membaca buku tersebut. Apalagi di Indonesia yang disebut-sebut minat bacanya sangat rendah, sehingga wajar salah satu influencer menyebut kalau kurangnya pemahaman literasi membuat jadi kurang kritis.
Mungkin buku tampak agak lambat dibandingkan dengan kepuasan instan internet, tetapi buku memiliki keajaiban yang unik. Penelitian menunjukkan bahwa membaca buku memberikan manfaat yang signifikan bagi remaja dan dewasa muda pada tingkat intrapersonal.
Buku membantu pengembangan kosa kata, meningkatkan kinerja akademis, dan meningkatkan literasi media.
Lebih jauh lagi, buku mencakup berbagai genre, yang masing-masing menawarkan perspektif dan keterampilan unik yang memainkan peran penting dalam pengembangan pribadi. Misalnya, Fiksi meningkatkan kreativitas dan empati saat anak-anak membenamkan diri dalam dunia imajinatif dan beragam karakter.
Ini membantu mereka memahami berbagai emosi dan sudut pandang, yang menumbuhkan kecerdasan emosional. Di sisi lain, nonfiksi menyediakan informasi faktual tentang dunia, yang memperluas pemahaman mereka tentang sejarah, sains, geografi, seni, dan budaya.
Baca Juga: Tak Disangka! Bung Karno Ternyata Gemar Membaca Meski di Toilet, Bahkan Punya Rak Khusus
Buku ini menumbuhkan rasa ingin tahu dan berpikir kritis dengan mendorong mereka untuk mengajukan pertanyaan dan mencari jawaban.
Selain itu, genre fantasi dan petualangan merangsang kreativitas dan keterampilan memecahkan masalah, mengajarkan anak-anak untuk menghadapi tantangan dan berpikir kreatif. Biografi dan otobiografi menawarkan wawasan tentang berbagai pengalaman hidup, yang menginspirasi ketahanan dan ambisi.
Pemaparan terhadap berbagai genre tidak hanya memperkaya pemahaman anak-anak terhadap dunia tetapi juga membantu mereka mengembangkan perspektif menyeluruh terhadap kehidupan, sehingga meningkatkan pertumbuhan intelektual dan emosional mereka.
Mengapa Membaca Masih Begitu Penting di Era Digital?
Berikut ini adalah mengapa membaca buku tetap penting bagi pikiran muda di era digital ini.
Memperdalam Pengetahuan dan Pemahaman
Internet menawarkan lautan pengetahuan yang luas, tetapi buku menyediakan penyelaman yang mendalam. Tidak seperti membaca sekilas halaman Wikipedia atau menggulir umpan berita, membaca buku menumbuhkan pengetahuan dan pemahaman yang lebih dalam.
Baca Juga: Saat Ganjar Pranowo Dihadiahi Buku oleh Seorang Anak Tuna Netra Asal Bekasi
Bayangkan siswa menjelajahi dunia Narnia yang fantastis dengan "The Chronicles of Narnia" karya CS Lewis, – sekelompok anak menemukan tanah ajaib yang tersembunyi di dalam lemari pakaian, di mana mereka terlibat dalam pertempuran dan pencarian epik bersama hewan yang bisa berbicara dan makhluk mitos atau mengungkap misteri Mesir kuno dengan "The Kane Chronicles" karya Rick Riordan – saudara kandung menemukan bahwa mereka adalah keturunan penyihir Mesir kuno dan harus menjelajahi dunia para dewa, monster, dan mantra untuk menyelamatkan keluarga mereka dan mencegah kekacauan melanda dunia modern.
Cerita-cerita ini menuntut perhatian siswa dengan menjalin plot yang rumit dan mengembangkan karakter yang kompleks, membawa mereka melampaui layar untuk benar-benar menghuni dunia dan perspektif yang berbeda.
Meningkatkan Pemikiran Kritis
Buku menantang siswa untuk berpikir kritis dan analitis. Selain itu, proses membaca mendorong refleksi dan merangsang keingintahuan intelektual, menumbuhkan kebiasaan mempertanyakan asumsi dan mencari pemahaman yang lebih dalam. “1984” karya George Orwell adalah contoh utama buku yang memicu pemikiran kritis.
Eksplorasinya terhadap totalitarianisme, pengawasan, dan kebebasan individu mendorong pembaca untuk mempertanyakan norma-norma masyarakat dan mempertimbangkan dampak kontrol pemerintah terhadap kebebasan pribadi. Konten yang menggugah pikiran seperti itu mendorong siswa untuk mengembangkan keterampilan analitis mereka dan membentuk opini yang beralasan.
Mengurangi Stres dan Meningkatkan Relaksasi
Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, siswa sering menghadapi tekanan yang signifikan akibat tekanan akademis, ekspektasi sosial, dan kegiatan ekstrakurikuler. Membaca buku memberikan pelarian yang damai dari tekanan-tekanan ini. Penelitian telah menunjukkan bahwa membaca dapat mengurangi stres hingga 68%.
Baca Juga: Viral Pria di Sulsel Tersengat Listrik saat Hendak Pasang Baliho di Billboard, Kondisinya Kritis
Misalnya, membaca buku yang menenangkan seperti “What to Do When You Worry Too Much” karya Bonnie Mathews membantu anak-anak usia sekolah mempelajari teknik-teknik kognitif-perilaku untuk meredakan dan mengelola kecemasan, ketakutan, dan kekhawatiran melalui kegiatan menulis dan menggambar, serta latihan dan strategi swadaya.
Meningkatkan Empati dan Kecerdasan Emosional
Buku juga memainkan peran penting dalam mengembangkan kecerdasan emosional dan empati. Melalui cerita, siswa bertemu dengan beragam karakter dengan latar belakang dan pengalaman yang beragam. “Tuesdays With Morrie” karya Mitch Albom adalah contoh yang sangat bagus.
Buku ini mengisahkan percakapan nyata penulis dengan mantan profesor kuliahnya, Morrie Schwartz, yang sedang sekarat karena Amyotrophic Lateral Sclerosis (ALS).
Melalui refleksi Morrie tentang kehidupan, kematian, cinta, dan pengampunan, pembaca memperoleh wawasan mendalam tentang emosi dan hubungan manusia. Narasi semacam itu membantu siswa memahami dan berempati dengan orang lain, menumbuhkan rasa kasih sayang dan kedewasaan emosional.
Membangun Kosakata dan Keterampilan Bahasa
Buku merupakan sumber daya yang tak tertandingi untuk pengembangan bahasa. Buku memperkenalkan siswa pada kosakata yang kaya, struktur kalimat yang bervariasi, dan gaya penulisan yang beragam.
Misalnya, membaca buku klasik seperti "To Kill a Mockingbird" karya Harper Lee memperkenalkan siswa pada bahasa yang canggih dan tema yang kompleks.
Baca Juga: Yoshua Amsal Maniani, Siswa SD Sorong, Sampaikan Pertanyaan Kritis kepada Presiden Jokowi
Saat siswa menemukan kata dan frasa baru, mereka memperluas kosakata mereka dan meningkatkan keterampilan menulis dan komunikasi mereka. Pertumbuhan linguistik ini penting untuk keberhasilan akademis dan komunikasi yang efektif dalam kehidupan sehari-hari.
Kekuatan Imajinasi dan Kreativitas
Membaca buku merangsang imajinasi dengan cara yang seringkali tidak dapat dilakukan oleh media digital. Saat siswa membaca, mereka dibawa ke dunia, waktu, dan perspektif yang berbeda. Proses ini melibatkan kreativitas mereka, yang memungkinkan mereka memvisualisasikan karakter, latar, dan peristiwa dengan jelas.
Pertimbangkan seri "Harry Potter" karya JK Rowling, yang telah memikat jutaan pembaca muda di seluruh dunia. Dunia magis Hogwarts, dengan detailnya yang kaya dan karakter yang menarik, memicu imajinasi, mendorong siswa untuk bermimpi dan menciptakan cerita fantastis mereka sendiri.
Membaca dan era digital
Meskipun media digital sangat berpengaruh, membaca buku tidak dapat dilebih-lebihkan. Buku memberikan pengetahuan yang mendalam, meningkatkan keterampilan kognitif, mengurangi stres, menumbuhkan empati, dan mendorong pembelajaran seumur hidup.
Saat kita menjelajahi dunia yang maju secara teknologi ini, janganlah kita lupakan dampak mendalam yang dapat diberikan oleh buku yang bagus pada pikiran dan kehidupan kita.
Membaca buku digital dan cetak, pilih mana?
Telah banyak penelitian yang membandingkan dampak membaca digital dan cetak terhadap pemahaman. Dan dalam hal pembelajaran, cetak adalah rajanya.
"Jika teks lebih panjang dari sekitar 500 kata, pembaca umumnya lebih baik dalam tes pemahaman dengan bacaan cetak," tulis Naomi S. Baron, profesor emerita linguistik di American University. Ia juga penulis How We Read Now: Strategic Choices for Print, Screen, and Audio .
“Keunggulan media cetak khususnya terlihat ketika peneliti tidak lagi mengajukan pertanyaan yang jawabannya dangkal, tetapi mengajukan pertanyaan yang jawabannya memerlukan kesimpulan, perincian tentang teks, atau mengingat kapan dan di mana suatu peristiwa terjadi dalam cerita,” kata Baron.
Baca Juga: Dukung Literasi Keuangan, BRI Kolaborasi dengan Kemenkeu Jual SBN Seri ST010
Dalam bukunya Reader, Come Home: The Reading Brain in a Digital World , Profesor Maryanne Wolf, seorang ahli saraf di University of California, Los Angeles menulis , "Saya percaya bahwa otak pembaca berubah tanpa terasa. Banjir informasi yang kita terima sebenarnya mengubah cara kita membaca."
“Cara membaca sekilas, menelusuri, dan mencari kata pada layar digital ini menular ke semua yang kita baca, yang benar-benar berpotensi merusak kualitas pemikiran yang kita gunakan saat kita membaca,” Wolf berbagi .
Dengan membaca digital, kecepatan adalah kuncinya. Kita mengakses internet untuk mendapatkan informasi dengan cepat, menggunakan fungsi pencarian, dan mengklik kata kunci. Kita memindai dan menggulir untuk mendapatkan apa yang kita butuhkan. Dengan membaca cetak, kita dapat memperlambat, membaca kalimat dan paragraf untuk mendapatkan pemahaman yang lebih mendalam tentang materi.
Halaman dan piksel akan selalu ada dalam kehidupan kita dan di sekolah kita. Untuk berhasil di era digital ini, pelajar muda harus mengembangkan " otak baca biliterasi ", menurut Wolf—otak yang mampu menganalisis secara kritis, berempati, dan memiliki tingkat pemahaman yang tinggi, apa pun medianya. Dengan membangun keterampilan membaca yang mendalam di era digital ini, pembaca dapat memperoleh yang terbaik dari kedua dunia.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Vgos.org