Kamis, 12 SEPTEMBER 2024 • 15:23 WIB

Balada Lagu Sedih Lintas Generasi: Dinikmati Responsif Oleh Gen Z, Dilarang di Era Gen X

Author

Ilustrasi mendengarkan lagu sedih. (Freepik)

INDOZONE.ID - Lagu sedih terkadang memiliki nama lain di setiap generasi pecinta musik Tanah Air. Ada saat mereka disebut dengan lagu ambyar, lagu galau, atau lagu cengeng yang lebih bersifat negatif hingga dilarang.

Sampai segitunya?

Dengan ketukan tempo yang lambat, melodi minor yang sendu, ditambah dengan lirik tentang kesedihan tentang cinta, kehilangan, atau bahkan lagu depresi akan kehidupan sering kalian dengar dan selalu menjadi lagu yang populer di masyarakat.

Di masa kini, generasi Z disuguhkan dengan lagu-lagu sedih yang rajin diputar di berbagai platform. Sebut saja 'Sial', 'Mati-matian', 'Usai', 'Pesan Terakhir, sampai 'Gala Bunga Matahari' atau lagu-lagu Bernadya yang dianggap lagu sadboy dan sadgirl.

Menjamur lagu-lagu seperti itu membuat anggapan bila para generasi Z suka menenggelamkan diri dengan lagu-lagu tersebut. Padahal semua itu terjadi di berbagai generasi.

Baca Juga: Ada 10 Juta Gen Z Nganggur dan Tidak Sekolah, Apa Strategi Pemerintah?

Bahkan laku kerasnya lagu-lagu tersebut memang sudah menjaid bagian penelitian para ilmuwan, khususnya psikolog yang akhirnya dijadikan acuan para produser lagu untuk mencari karya-karya lagu sedih untuk dipromosikan lebih lantaran banyaknya pendengar yang menyukai jenis lagu seperti itu.

Penelitian piskologi musik

Mengutip wawancara Esquier, seorang ahli psikologi musik bernama Dr. Michael Bonshor mengungkapkan tentang klasifikasi dan definisi lagu sedih, serta alasan Generasi Z sering menggunakan lagu musik sedih untuk bersantai.

Ilustrasi mendengarkan lagu sedih. (Freepik)

"Ciri yang paling jelas dari lagu sedih adalah tempo. Tempo cenderung agak lambat, sering kali antara 60 hingga 70 ketukan per menit—seperti detak jantung yang santai. Lagu sedih juga cenderung memiliki intensitas rendah. Mereka tidak memiliki banyak perubahan volume. Mereka juga memiliki profil yang lembut—apa yang saya sebut melodik. Itu berarti melodi tidak tiba-tiba naik atau turun secara drastis. Cenderung tetap stabil dan tenang," ungkapnya.

Selain itu Dr. Bonshor juga menyebutkan bila diperhatikan dalam lagu-lagu sedih adalah bahwa nada dari instrumen dan suara cenderung lebih lembut. Seluruh efeknya menenangkan. Kadang-kadang mereka [dinyanyikan] dalam kunci minor, yang sering digunakan orang saat menulis lagu sedih.

Baca Juga: Bertemu Budayawan Yogyakarta, Ganjar DiHadiahi Patung 'Nusantara', Lukisan hingga Dibuatkan Lagu

"Namun, kunci mayor, yang sering terdengar sedikit lebih cerah, juga bisa digunakan. Interpretasi lagu sedih didasarkan pada hubungan antara lirik dan musik. Lirik benar-benar membuat perbedaan besar."

Gen Z lebih responsif dengan lagu sedih ketimbang generasi lainnya

Terkait dengan pernyataan bila musik sedih lebih sering digandrungi oleh Gen Z, Dr. Bonshor menyebutkan beberapa alasan di balik itu. Menurutnya, ada beberapa alasan mengapa Generasi Z melakukannya lebih dari generasi lainnya.

"Pertama, gen z telah tumbuh menjadi pengguna teknologi yang ahli. Kehidupan sosial mereka dibentuk di sekitar itu. Mereka menggunakannya untuk menjelajahi dunia, menyelesaikan masalah mereka, dan mendapatkan nasihat. Saya juga berpikir mereka lebih sadar akan perasaan mereka. Tampaknya ada rasa empati yang sangat kuat di antara Generasi Z. Dan tentu saja, mereka terbiasa menyesuaikan pendengaran mereka dengan cara yang tidak bisa dilakukan oleh generasi sebelumnya."

"Mereka dapat menyesuaikan musik mereka dengan suasana hati mereka, atau untuk mendukung apa pun yang mereka lakukan. Itu mungkin memungkinkan mereka untuk terhibur sambil mengekspresikan atau melepaskan emosi mereka. Anda bisa mengalami katarsis dengan bernyanyi bersama seseorang."

Laris manis lagu sedih di Indonesia

Setelah berbagai macam penelitian dari para ahli, wajar saja hal ini menjadi acuan para musisi atau produser musik untuk menciptakan lagu sedih.

Baca Juga: Viral ‘Kim Jong-un’ Nyanyi Lagu Dangdut di Kondangan

Seorang pengamat musik Indonesia bernama Mudya Mustamin mengungkapkan hal itu wajar adanya karena hal itu akan menguntungkan musisinya sendiri dan juga produser musik.

"lagu sedih yg bertema cinta memang sepertinya paling mudah diterima. formula yang sangat komersil. bahkan tidak hanya di indonesia, tapi juga di dunia. salah satu contoh paling akurat adalah Adele, yg disebut sebagai "Ratu Galau"," kata Mudya Mustamin saat dihubungi Indozone.

Lagu sedih di Era Orde Baru

Penyanyi Betharia Sonata yang lagunya disebut lagu cengeng di era Orde Baru. (ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja).

Ada suatu masa ketika lagu-lagu sedih dianggap negatif sehingga harus dilarang. Mengutip buku yang ditulis pengamat musik Denny Sakrie, pada era orde baru beberapa lagu-lagu cengeng sudah mulai ditulis sejak era 1960-an dari eranya Rahmat Kartolo.

Di era 1970-an, lagu mendayu-dayu dan sendu pun banyak beredar di masyarakat. Bahkan banyak musisi yang tampilannya rocker sangar ikut bikin lagu-lagu yang sebetulnya cengeng.

Sebut saja AKA dengan “Badai Bulan Desember” dan The Rollies dengan “Kau yang Kusayang” yang malah lebih dikenal oleh masyarakat ketimbang karya cadasnya. Pencampuran jenis ini merupakan cikal bakal sub genre slow rock seperti karya-karya Deddy Dores.

Baca Juga: Hari Musik Nasional, Jokowi Minta Masyarakat Kembangkan Lagu Daerah

Namun puncaknya ada di era 1980-an, dimana Obbie Mesakh, Pance, Betharia Sonata, Nia Daniaty, dan beberapa nama lainnya kerap membawakan lagu cengeng.

Tema patah hati, penderitaan, tangis sesenggukan, hingga kasus KDRT menjadi mesin uang bagi label rekaman seperti JK Records dan Lollypop. Christine Pandjaitan, Nia Daniaty, dan Dian Pisesha adalah bintang – bintang yang sukses membawakan peran wanita yang terzalimi pada setiap penampilannya di TVRI.

Salah satu lagu yang cengeng sangat populer di era 80-an adalah "Hati yang Luka" yang dinyanyikan oleh Betharia Sonata. Lagu ini menggema di seantero negeri, seolah ikut hanyut dengan lagu tema pernikahan yang kandas karena ada lirik "pulangkan aku ke rumah orang tuaku."

Pelarangan Lagu Galau

Menteri Penerangan H. Harmoko di era orde baru. (ANTARA)

Keberadaan lagu-lagu sedih ini ternyata membuat pemerintah saat itu gerah. Sehingga munculah pelarangan atas lagu-lagu pop cengeng tersebut.

"Di era pemerintahan Suharto, Menteri Penerangan Harmoko pernah sampai mengeluarkan larangan utnuk ‘lagu-lagu pop cengeng’ - begitu sebutannya era itu. Karena saat itu, khususnya lagu-lagu dari rilisan label JK Records, banyak mengumbar lagu pop melankolis yang ternyata laku keras di pasaran," kata Mudya Mustamin.

Tepatnya pada perayaan ulang tahun TVRI ke-26, Harmoko mengatakan dengan tegas “Stop lagu-lagu semacam itu.” merujuk pada lagu-lagu cengeng dan keseluruhan acara pun dipenuhi dengan pertunjukkan musik yang ceria. Mulai detik itu juga TVRI dan RRI dilarang memutarkan lagu-lagu cengeng.

Harmoko menyebut Hits “Hati Yang Luka” yang dirilis tahun 1988 ciptaan Obbie Messakh dan dinyanyikan Betharia Sonata mengandung lirik yang ‘melumpuhkan semangat’, hal itu dinilai sangat kontradiktif dengan semangat pembangunan yang digaungkan pemerintah orde baru.

Baca Juga: Kritisi Indikasi Dinasti Politik Era Jokowi, BEM SI Berharap Tidak Terjadi Neo Orde Baru

TVRI sebagai corong pemerintah, dianggap punya peran kunci atas tumbuhnya semangat bekerja. Sehingga lagu-lagu itu dianggap tak layak muncul di era tersebut.

Lagu cengeng era 80-an tidak bisa disamakan dengan lagu galau era sekarang

Jika dihubungkan antaran lagu pop cengeng era Orde Baru dengan kasus ‘lagu-lagu galau’ jaman sekarang, sepertinya ada salah kaprah dalam mengartikannya, menurut pengamat musik Mudya Mustamin.

"Lagu-lagu cengeng jaman Harmoko tadi bisa dibilang memang sangat didominasi lirik yang sarat rintihan hingga penderitaan, yang antara lain mengungkap perasaan yang tertindas oleh prahara hubungan percintaan dan semacamnya. Jadi saat itu dianggap tidak memberi vibe positif atau semangat," ungkapnya.

Pengamat musik yang juga menjadi salah satu juri AMI Awards tersebut juga mengungkapkan bila lagu galau yang banyak disebut-sebut sekarang justru punya makna luas.

"Kebanyakan disebut ‘galau’ lantaran karakter musiknya yang cenderung pelan (tapi tidak mutlak melankolis), bernuansa folk / folky, lembut dan syahdu. Bahkan tidak sedikit ungkapan liriknya yang puitis. Mungkin ada juga yang bermuatan rintihan atau korban perasaan, tapi tidak diungkapkan secara vulgar," jelas saja.

Bisa dilihat dari lagu Sal Priadi 'Gala Bunga Matahari' atau lagu Bernadya "Satu Bulan" yang memang terdengar seperti lagu galau, tapi memiliki makna lebih luas.

Evolusi lagu sedih mencerminkan perubahan dalam cara kita memahami dan mengekspresikan perasaan melalui musik.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Wawancara, Analisa Redaksi