Insiden mengerikan itu terjadi ketika Trump berpidato di depan ribuan pendukungnya di Butler, Pennsylvania. Sejurus kemudian terdengar suara tembakan yang menyebabkan kepanikan.
Calon presiden dari Partai Republik itu memegang telinganya dan terjatuh dari podium. Sejumlah petugas keamanan dari Secret Service langsung menghampiri dan melindungi Trump.
Satu menit kemudian, Trump berdiri dengan telinga yang berdarah. Sebelum pergi untuk diamankan, Trump memberi isyarat dirinya baik-baik saja dengan mengepalkan tangannya ke arah pendukung.
Dikutip dari Reuters, tersangka penembakan Trump tewas ditembak polisi. Selain itu, salah seorang penonton juga dilaporkan tewas akibat terkena tembakan.
Menurut laporan CBS News, yang mengutip dua sumber yang terlibat, hampir 30 ancaman bom palsu dilaporkan terjadi di beberapa tempat pemungutan suara (TPS) di seluruh AS pada Hari Pemilu, Selasa (6/11).
Baca Juga: Jelang Pilpres AS, Donald Trump Klaim Unggul di 7 Negara Bagian Kunci
Sekitar 17 dari 30 ancaman bom tersebut dilaporkan menargetkan negara bagian Georgia. Sementara itu, ancaman palsu lainnya terdeteksi di Georgia, Arizona, Michigan, dan Wisconsin.
Berita ini muncul setelah FBI mengumumkan bahwa mereka telah mengetahui adanya ancaman bom terhadap sejumlah TPS di beberapa negara bagian, dengan banyak di antaranya berasal dari alamat email yang diduga terkait dengan Rusia.
Namun, FBI menyatakan bahwa "belum ada ancaman yang dapat dipastikan kredibilitasnya" sejauh ini.
Menurut pengamat hubungan internasional Andrea Abdul Rahman Azzqy, Israel akan mendapat dukungan lebih besar untuk melakukan aksinya di wilayah-wilayah pendudukan Palestina jika Donald Trump menang dalam Pemilu Presiden Amerika Serikat 2024.
Baca Juga: Seorang Pria Ditangkap Dekat Lokasi Kampanye Donald Trump di California, Teror Pembunuhan Lagi?
"Jelasnya, Israel akan mendapat dukungan yang jauh lebih besar untuk campaign mereka, tidak hanya masalah Palestina, Gaza, Tepi Barat dan Hebron namun juga ke Lebanon, Suriah, Irak, Iran," kata Andrea saat dihubungi ANTARA di Jakarta, Rabu.
"... dan beberapa negara yang dianggap Israel sebagai musuh seperti campaign Netanyahu ketika mereka ingin membuat Greater Israel," kata akademisi Universitas Budi Luhur itu, menambahkan dan menyebut nama Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: ANTARA, Analisis Redaksi