"Apakah tidak berlebihan dalam menembakkan gas air mata, sehingga masyarakat yang tidak ikut demonstrasi turut terkena dampaknya. Memang benar bahwa gas air mata tidak mematikan, tetapi penggunaannya juga harus berhati2, jangan sampai menyebabkan orang luka2 atau sakit, misalnya yang sesak nafas kalau tidak sengaja menghirup gas air mata pasti berdampak serius," pungkasnya.
Langkah yang diambil Kompolnas ini menyoroti pentingnya evaluasi dan pembenahan dalam penanganan demonstrasi, agar aparat keamanan tetap menjalankan tugas mereka dengan profesional dan proporsional, tanpa melanggar hak-hak asasi manusia.
Tak hanya dari Kompolnas, sejumlah perwakilan dari masyarakat dan aktivis HAM bertemu dengan penasihat ahli dan staf ahli Polri, termasuk Koordinator Staf Ahli Kapolri Irjen Hadi Gunawan dan Kadivpropam Irjen Abdul Karim. Dalam pertemuan tersebut, mereka menyampaikan tiga poin penting terkait kebijakan Polri dalam menangani unjuk rasa di berbagai kota di Indonesia.
Pertama, perwakilan tersebut mempertanyakan kebijakan Polri dalam penanggulangan unjuk rasa yang dinilai terlalu represif. Mereka mengungkapkan bahwa di setidaknya 12 kota, termasuk Jakarta, Bandung, Semarang, dan Makassar, terjadi tindakan kekerasan yang dianggap berlebihan oleh aparat kepolisian.
"Kami menyampaikan di berbagai kota itu, kepolisian juga melakukan tindakan-tindakan kekerasan yang tidak diperlukan, penggunaan kekuatan yang eksesif termasuk water cannon, gas air mata, juga tindakan pemukulan," ujar Direktur Eksekutif Amnesty Internasional, Usman Hamid kepada Indozone.
Mereka juga menyoroti tindakan penangkapan dan penahanan yang dinilai sewenang-wenang, serta sulitnya akses bagi advokat dari lembaga bantuan hukum untuk mendampingi mereka yang ditangkap.
"Bahkan sejumlah advokat dari lembaga bantuan hukum dan sejumlah lembaga masyarakat lainnya itu mendapatkan kendala di dalam mengakses mereka yang ditangkap padahal mereka punya hak bisa didampingi," lanjutnya.
Kedua, mereka menyampaikan kekhawatiran bahwa pengamanan semacam ini mungkin terkait dengan kurangnya netralitas kepolisian dalam kontestasi elektoral.
Baca Juga: Resmi! Kapolri Larang Media Beritakan Kekerasan Polisi, Diminta Beritakan yang Baik Saja
"Menjelang pilkada kali ini, juga itu kembali tampak, dan itu bisa kami pahami sebagai tindak yang bisa jadi dipengaruhi oleh kedekatan Kapolri dengan presiden," kata mereka. Perwakilan tersebut menekankan bahwa kepolisian seharusnya bersikap netral dan berada di tengah-tengah antara kepentingan pemerintah, negara, dan masyarakat.
Ketiga, perwakilan juga menyoroti dugaan kepemilikan alat-alat penyadap oleh Polri, yang dinilai mengancam kebebasan berekspresi.
"Kami menduga kepolisian memiliki alat-alat sadap dan ini sangat berbahaya bagi kebebasan berekspresi seperti pegasus," ujarnya merujuk pada penelitian Amnesty International yang mengungkap pembelian alat sadap tersebut dari Israel melalui Singapura.
Dalam pertemuan tersebut, mereka juga menyampaikan desakan agar Kapolri bertanggung jawab atas tindakan represif yang terjadi di berbagai wilayah. Bahkan, jika diperlukan, mereka meminta Kapolri untuk mundur dari jabatannya.
"Kami benar-benar mendesak Kapolri untuk mempertanggungjawabkan itu. Bahkan kami tadi menyampaikan kalau perlu Kapolri mundur," tegas mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara, Analisis Redaksi