Pada tahun 2017 tercatat sebanyak 19 kasus, tahun 2018 sebanyak 18 kasus, dan pada tahun 2019 meningkat tajam menjadi 33 kasus. Peningkatan ini menunjukkan lonjakan yang sangat signifikan.
Kepolisian bukan saja melakukan tindakan refresif untuk memukul mundur masa aksi dilapangan untuk melakukan penertiban, akan tetapi kepolisian juga sering bertindak di luar kewenangannya, seperti melakukan penangkapan orang yang hanya dianggap sebagai peserta aksi, penganiayaan atau bahkan penyiksaan terhadap masyarakat sipil.
Tidak dapat dipungkiri bahwa dalam aksi unjuk rasa, sering muncul provokator yang menyebabkan kerusuhan, dan ini menjadi pemicu awal konflik antara massa aksi dan aparat kepolisian.
Insiden yang terjadi di depan Gedung DPR/MPR RI menggambarkan eskalasi ketegangan antara aparat dan demonstran. Massa aksi yang awalnya melakukan protes damai berubah menjadi ricuh ketika mulai melemparkan batu dan menjebol pagar Gedung DPR. Pada akhirnya, aparat kepolisian menembakkan gas air mata untuk membubarkan massa, yang justru menimbulkan kekhawatiran akan dampak yang lebih besar terhadap masyarakat luas.
Komisi Kepolisian Nasional (Kompolnas) baru-baru ini mendesak Kapolri Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo untuk mengevaluasi metode pengamanan yang digunakan saat menghadapi demonstrasi.
Desakan ini muncul setelah terjadinya kekerasan berlebihan dan penggunaan gas air mata dalam pengamanan massa aksi menolak RUU Pilkada beberapa waktu lalu.
Baca Juga: Kapolri Memimpin Upacara Hari Juang Polri Perdana di Surabaya, Kenang Perjuangan Polisi
Poengky Indarti, salah satu Komisioner Kompolnas, menyatakan bahwa Polri perlu lebih terbuka dalam menerima kritik masyarakat, terutama terkait pola pengamanan yang diterapkan dalam demonstrasi. Penggunaan gas air mata dan tindakan kekerasan yang dilakukan aparat dalam berbagai aksi di beberapa daerah, termasuk di Jakarta dan Semarang, memicu reaksi keras dari masyarakat.
"Penggunaan Kekuatan Polri sudah ada aturannya yaitu Perkap no. 1 tahun 2009 ttg Penggunaan Kekuatan. Selain itu juga ada Perkap no. 8 tahun 2009 ttg Implementasi Prinsip dan Standar Hak Asasi Manusia dalam Penyelenggaraan Tugas Polri. Nah, dua aturan tersebut harus dilaksanakan dengan baik," kata Poengky di hadapan wartawan.
"Nah, untuk pelaksanaannya di beberapa daerah, termasuk di Jakarta dan Semarang, harus diakui mendapat reaksi masyarakat, terutama penggunaan gas air mata dan kekerasan berlebihan yang diduga dilakukan aparat. Terhadap kritikan masyarakat tersebut, Polri perlu membuka diri dengan melakukan evaluasi pelaksanaan operasi pengamanan, apakah benar semua anggotanya telah bertindak profesional? Misalnya penggunaan gas air mata, apakah benar sudah sesuai kebutuhan?," tambahnya.
Penggunaan gas air mata, meskipun tidak mematikan, tetap memerlukan kehati-hatian. Dampak dari gas air mata, seperti sesak napas dan luka-luka, dapat memengaruhi masyarakat yang tidak terlibat langsung dalam aksi demonstrasi. Oleh karena itu, evaluasi mendalam diperlukan untuk memastikan bahwa tindakan pengamanan tidak menimbulkan dampak yang lebih luas dan merugikan.
Menurut Poengky, Polri harus mengevaluasi apakah anggotanya telah bertindak profesional dan apakah penggunaan gas air mata tersebut benar-benar diperlukan dan proporsional.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Wawancara, Analisis Redaksi