Ilustrasi kapal dan ABK. (ANTARA FOTO/Mohamad Hamzah).
Berita heboh soal pelarungan tiga jenazah Anak Buah Kapal (ABK) Indonesia oleh kapal ikan Tiongkok sangat tidak manusiawi. Sebenarnya banyak ABK yang pernah mengikuti kapal Tiongkok atau negara lain sejak berada di kapal sudah diperlakukan dengan buruk.
Irman dan Wibowo merupakan dua mantan ABK mengungkapkan hal tersebut. Keduanya berkisah ada perlakuan buruk kepada ABK asal Indonesia di kapal-kapal asing, mulai dari jam istirahat yang tak tentu, makanan seadanya, Wearpack yang tidak layak hingga akses obat-obatan dan komunikasi yang sangat jelek.
Irman berkisah saat mengikuti kapal Tiongkok dari agen asal Taiwan beberapa tahun silam, ia merasakan eksploitasi fisik yang luar biasa, bahkan pada saat sakit mereka tidak diberi pengobatan yang layak sehingga merasa sangat meringis.
"Dari sistem jam kerja di atas kapal, memang tidak ada batas waktu kerja. Karena saat kondisi tangkapan ikan yang banyak sekali, untuk jam tidurnya sangat singkat minim. Jadi semakin banyak ikan semakin sedikit kita tidur. Dan semakin sedikit ikan, kita masih punya waktu untuk tidur. Tergantung kebijakan kapten kapal," katanya dalam diskusi bersama Jaringan Buruh Migran dan LBH Jakarta, di Jakarta, Minggu (10/5/2020).
"Konsumsi dan fasilitas juga, kurang memadai. Konsumsi (makan-red) itu kalau pagi kita makan seperti hanya makan nasi atau bubur dengan ikan asin kalau ada. Siangnya kita biasa makan ikan lama bukan ikan yang fresh. Kita satu tahu itu, hanya dapat satu sepatu boots, sarung tangan plastik, itu pun satu hanya satu. Kalau wearpack itu, kita gunakan bekas kita atau pakaian yang sudah finish contract," tambahnya.
Pengalaman yang kurang lebih sama, dialami Wibowo, padahal ia saat itu menjadi anak magang di kapal ikan Tuna Jepang. Dalam kontrak ia menjadi penangkap ikan, tapi sampai di atas kapal semua pekerjaan dilakukan mulai dari menangkap ikan, membersihkan kapal hingga menjadi illegal logging solar alias mafia solar di tengah laut.
"Saya pertama jadi ABK magang di Kapal Jepang selama tiga tahun. Dari tahun 2007 sampai 2010. Itu semua yang dikeluhan ABK sama. Jam tidur yang tidak teratur, makanan sama air yang sulit dan perlakuan yang kasar diatas kapal. Hampir semua sama," tuturnya.
"Saya pernah salah job itu, job ke Libya, di job PKL-nya kapal Tuna Lomlen sampai di sana saya kerja sebagai illegal logging solar. Jadi secara ilegal jual beli solar di tengah laut, mafia solar dan risikonya sangat besar sekali," kisahnya.
Tak hanya itu, gaji mereka sebagai ABK juga dikirim dalam bentuk delegasi atau diwakilkan melalui perusahaan lain dengan perhitungan dolar yang tidak sesuai dengan nilai tukar sehingga mereka sebagai ABK merasa sangat dirugikan.
"Kalau di Hawaii itu mereka mengeluhkan masalah gaji. Gaji yang pakai sistem delegasi itu, sangat merugikan ABK. Jadi sistem delegasikan. Jadi gaji kita bukan terima gaji di atas kapal. Tapi dikirim ke rumah melalui perusahaan lain dan dolar menurut perusahaan itu nggak sesuai dengan putaran dunia itu," tukasnya.
Untuk itu, mereka meminta kepada pemerintah agar memperhatikan dan memonitor para ABK asal Indonesia sehingga mereka tidak dieksploitasi sesuai dengan keinginan petinggi di kapal, tetapi diperlakukan sesuai dengan kontrak kerja yang ada.
Artikel Menarik Lainnya:
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: