INDOZONE.ID - Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan untuk membuka jalan bagi partai-partai yang tidak memiliki kursi DPRD agar tetap bisa mengusung calon kepala daerah. Banyak pihak yang melihat putusan ini sebagai angin segar bagi demokrasi.
Namun, harapan itu seakan hancur ketika Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), melalui Badan Legislasi (Baleg), bergerak cepat membentuk Panitia Kerja (Panja) untuk merevisi UU Pilkada.
Dalam hitungan jam, Panja DPR memutuskan bahwa pelonggaran threshold hanya berlaku untuk partai-partai yang tidak punya kursi DPRD. Bagi partai-partai besar yang memiliki kursi di parlemen, aturan lama tetap diberlakukan.
Baca Juga: Rapat DPR Tidak Pakai Putusan MK Tentang Batasan Usia, Kaesang Berpeluang Maju Pilkada
Di sini, terlihat jelas bagaimana upaya Panja DPR untuk membalikkan semangat demokrasi yang coba dipulihkan oleh MK.
Bukannya memperkuat sistem demokrasi, DPR malah mengukuhkan status quo, menjaga agar kekuasaan tetap berada di tangan para elite politik yang berkuasa dan dekat dengan penguasa.
Dengan situasi saat ini, muncul pertanyaan, apakah kita masih berada dalam demokrasi, ataukah kita sedang bergerak menuju ke bentuk kekuasaan yang lebih mirip dengan kerajaan?
Di sebuah kerajaan, keputusan hanya bergantung pada keinginan satu atau beberapa elite. Raja atau ratu bisa dengan mudah mengangkat siapa pun yang mereka inginkan ke posisi terhormat.
Jika demokrasi di Indonesia terus dikelola dengan cara seperti ini, di mana aturan bisa diubah sesuai kepentingan sekelompok orang, maka apa yang tersisa dari demokrasi itu sendiri?
Baca Juga: Anak Mantan Anggota DPR RI Beristri Empat Dilantik Jadi Wakil Rakyat Termuda di Jember
Kita tidak hanya berbicara tentang UU Pilkada, tetapi tentang keseluruhan sistem demokrasi yang seharusnya melindungi hak dan suara setiap warga negara, bukan hanya mereka yang berada di lingkaran kekuasaan.
Langkah Panja DPR mencerminkan bagaimana elite politik bermain dengan aturan demi mempertahankan kekuasaan.
Rakyat diberi ilusi bahwa suara mereka dihargai, bahwa mereka memiliki pilihan. Namun, ketika aturan-aturan tersebut dibuat untuk memelihara kekuasaan, apa bedanya dengan sistem kerajaan?
Demokrasi sejati seharusnya memberi ruang yang sama bagi semua pemain, besar maupun kecil. Namun, kenyataan yang kita lihat menunjukkan bahwa sistem ini semakin diwarnai oleh politik kekuasaan yang mengingatkan kita pada sistem kerajaan, di mana kekuasaan dipusatkan dan keputusan-keputusan penting dibuat oleh segelintir orang.
Sebagai warga negara yang mendambakan pemerintahan yang adil, kita harus waspada terhadap perubahan-perubahan ini.
Demokrasi bukan sekadar soal memilih, tetapi juga soal memastikan bahwa setiap orang memiliki kesempatan yang sama, tanpa dibatasi oleh kekuasaan elite politik. Jangan sampai kita terjebak dalam demokrasi yang dibungkus manis, tetapi di dalamnya, tetap ada aroma kerajaan yang kuat.
Saya akan mengutip kalimat pembuka Mohammad Hatta dalam tulisannya "Demokrasi Kita" yang dibuat pada tahun 1966 dan masih sangat relevan untuk situasi saat ini.
"Sejarah Indonesia sejak sepuluh tahun terakhir ini banyak memperlihatkan pertentangan antara idealisme dan realita.
Idealisme, yang bertujuan menciptakan suatu pemerintahan yang adil, yang akan melaksanakan demokrasi yanag sebaik-baiknya, dan kemakmuran yang sebesar-besarnya.
Sementara realita saat ini, pemerintah yang dalam perkembangannya kelihatan semakin jauh dari demokrasi yang sebenarnya."
Putusan MK Tidak Bisa Dianulir
Pakar hukum administrasi negara Universitas Jenderal Soedirman (Unsoed) Prof. Abdul Aziz Nasihuddin mengatakan bahwa Pemerintah dan DPR RI semestinya mengikuti putusan MK karena putusan lembaga negara tersebut bersifat final dan mengikat.
"Mestinya 'kan mengikuti apa yang ditetapkan oleh Mahkamah Konstitusi. Akan tetapi, faktanya tetap saja melakukan perubahan terhadap Undang-Undang Pilkada," katanya.
Sementara itu, pakar hukum administrasi negara dari Universitas Nusa Cendana (Undana) Dr. Johanes Tuba Helan mengatakan putusan MK tidak dapat dianulir oleh badan legislatif maupun eksekutif.
"Tidak bisa. Dalam negara demokrasi putusan badan yudikatif tidak bisa dianulir oleh badan legislatif maupun badan eksekutif," kata Johanes Tuba Helan.
Hal hampir sama diungkapkan Pakar Hukum Tata Negara Universitas Atma Jaya Yogyakarta (UAJY) Benediktus Hestu Cipto Handoyo meminta Badan Legislasi DPR RI menghormati putusan MK terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon demi menjaga stabilitas hukum dan demokrasi di Indonesia.
"Pengabaian putusan MK oleh Baleg tidak hanya melanggar prinsip-prinsip dasar hukum tata negara tetapi juga berpotensi menimbulkan krisis konstitusional yang serius," kata Hestu.
Pakar hukum tata negara Universitas Gadjah Mada Yance Arizona mengatakan keputusan Baleg DPR RI, yang menyepakati untuk mengikuti aturan Mahkamah Agung terkait syarat batas usia calon kepala daerah, dan tetap menggunakan syarat partai politik dalam mengusung calon adalah pembangkangan terhadap konstitusi.
"Langkah yang dilakukan oleh Baleg adalah pembangkangan terhadap konstitusi karena putusan Mahkamah Konstitusi merupakan penjelmaan dari prinsip-prinsip konstitusi," ujar Yance.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Antara, Amatan