INDOZONE.ID - Negara-negara di Arab dengan cepat menolak rencana Presiden Donald Trump yang ingin Amerika Serikat mengambil alih Gaza dan merelokasi penduduk Palestina.
Kini, mereka tengah berusaha menyusun strategi diplomatik guna menghadang proposal kontroversial tersebut.
Pada Selasa, 4 Februari 2025 kemarin, di tengah gencatan senjata yang rapuh antara Israel dan Hamas, Trump mengumumkan rencananya untuk menguasai Gaza.
Langkah ini segera memicu kemarahan Palestina dan negara-negara di Arab, karena bertentangan dengan kebijakan AS selama puluhan tahun yang mendukung solusi dua negara.
Namun, upaya negara-negara Arab untuk menyusun rencana tandingan masih menghadapi berbagai tantangan.
Salah satu persoalan utama adalah sumber pendanaan rekonstruksi Gaza, yang menurut PBB diperkirakan menelan biaya lebih dari $50 miliar dolar AS (Rp815 triliun).
Baca Juga: Sejumlah Negara Arab Kecam Pernyataan Netanyahu Soal Negara Palestina di Wilayah Saudi
Selain itu, belum ada kesepakatan mengenai siapa yang akan bertanggung jawab dalam pemerintahan Gaza ke depan.
Pada Jumat, 21 Februari 2025, para pemimpin negara-negara Teluk, Mesir, dan Yordania dijadwalkan bertemu di Riyadh dalam pertemuan tidak resmi.
Walaupun pernyataan resmi Saudi tidak menyebutkan pembahasan mengenai Gaza, sumber terpercaya mengungkapkan bahwa pertemuan ini akan membahas proposal dari Mesir untuk menolak rencana Trump yang berupaya "membersihkan" Gaza dari warga Palestina dan merelokasi mereka ke Yordania dan Mesir.
Proposal Mesir mencakup rencana pendanaan sebesar 20 miliar dolar AS dalam tiga tahun, dengan sebagian besar dana berasal dari negara-negara Teluk yang kaya. Namun, belum ada kepastian mengenai komitmen pendanaan tersebut.
"Banyak pihak yang masih bingung dengan isi rencana ini," ujar seorang pejabat yang terlibat dalam negosiasi mengenai Gaza, seperti dilansir Channel News Asia, Sabtu (22/2/2025).
Sumber yang dekat dengan keluarga kerajaan Saudi juga mengatakan bahwa belum ada proposal final yang disepakati menjelang pertemuan di Riyadh.
Para pemimpin Arab diharapkan dapat mencapai kesepakatan sebelum pertemuan darurat Liga Arab yang akan digelar pada 4 Maret 2025 di Kairo.
Presiden Mesir Abdel Fattah al-Sisi menegaskan bahwa rekonstruksi Gaza harus dilakukan tanpa merelokasi warga Palestina dari tanah mereka.
Kekhawatiran terbesar terhadap rencana Trump adalah potensi destabilisasi kawasan, yang bisa mengulangi tragedi "Nakba" pada tahun 1948, ketika hampir 800.000 warga Palestina terpaksa meninggalkan rumah mereka akibat berdirinya negara Israel.
Banyak dari mereka yang akhirnya menetap di kamp-kamp pengungsi di Yordania, Lebanon, Suriah, serta di Gaza dan Tepi Barat.
Bagi Mesir dan Yordania, rencana Trump membawa risiko besar. Sisi khawatir jika banyak warga Palestina dipindahkan ke negaranya, maka di antara mereka mungkin terdapat anggota Hamas, yang ia anggap sebagai ancaman keamanan.
Sementara itu, Yordania yang memiliki populasi besar keturunan Palestina melihat rencana relokasi ini sebagai ancaman serius.
Jika dua juta warga Gaza direlokasi, hal ini bisa memicu gelombang radikalisasi yang mengancam stabilitas kerajaan, hubungan damai dengan Israel, serta bahkan kelangsungan negara Yordania itu sendiri.
Namun, baik Mesir maupun Yordania sangat bergantung pada bantuan keuangan dan militer dari AS. Negara-negara Teluk juga membutuhkan perlindungan keamanan dari Washington. Ini membuat mereka berada dalam posisi sulit untuk secara terbuka menentang Trump.
Seorang pejabat AS, Steven Witkoff, mengatakan bahwa komentar Trump mengenai Gaza lebih bertujuan untuk mengeksplorasi alternatif dari solusi yang selama ini gagal.
Salah satu tantangan terbesar adalah bagaimana Gaza akan diperintah setelah perang.
Baca Juga: China Menentang Usulan Trump Terkait Pengambilalihan Gaza
Israel secara tegas menolak keterlibatan Hamas dalam pemerintahan Gaza. Namun, Otoritas Palestina yang dipimpin Mahmoud Abbas juga kurang mendapat dukungan dari rakyat Gaza maupun Tepi Barat.
Mesir mengusulkan pembentukan komite nasional yang akan mengelola Gaza, sementara dana rekonstruksi akan dikumpulkan dari negara-negara Teluk serta organisasi keuangan internasional.
Otoritas Palestina sendiri mengajukan proposal berbeda, yaitu pembentukan jabatan baru wakil perdana menteri yang akan bertindak sebagai gubernur Gaza dan melapor langsung kepada Mahmoud Abbas.
Perbedaan pandangan ini semakin terlihat ketika Liga Arab menegaskan bahwa Hamas sebaiknya mundur dari pemerintahan demi kepentingan rakyat Palestina. Namun, Hamas mengklaim bahwa mereka terbuka untuk solusi politik yang lebih fleksibel.
Ketegangan di kawasan semakin memuncak setelah Trump mengungkapkan rencananya untuk Gaza.
Negara-negara Arab kini berada dalam posisi sulit, di mana mereka harus mencari solusi yang dapat diterima oleh berbagai pihak, tanpa mengorbankan hak-hak rakyat Palestina.
Namun, dengan masih banyaknya perbedaan pandangan dan belum adanya kesepakatan konkret, tampaknya jalan menuju solusi yang benar-benar stabil masih panjang.
Semua mata kini tertuju pada pertemuan Liga Arab di Kairo bulan depan, yang diharapkan dapat memberikan arah lebih jelas mengenai masa depan Gaza.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com