Hingga kini ia masih berjuang melawan trauma yang mendalam.
Wanita itu terus menjalani terapi untuk mengatasi rasa takutnya berinteraksi dengan pria, dan merasa cemas setiap kali menggunakan ponsel karena itu memicu kenangan buruk.
Dalam wawancara dengan Associated Press, ia mengungkapkan bahwa meskipun tidak diserang secara fisik, pengalaman tersebut sangat menghancurkan hidupnya.
Wanita itu memilih untuk tidak mengungkapkan identitasnya karena alasan privasi.
Pengalaman ini ternyata dialami oleh banyak perempuan di Korea Selatan, yang juga mulai berbicara tentang dampak serupa dari penyebaran video dan gambar deepfake eksplisit tanpa persetujuan.
Dalam beberapa tahun terakhir, konten deepfake nonkonsensual menjadi semakin mudah diakses dan dibuat di Korea Selatan, memicu gelombang protes serta diskusi publik.
Baru-baru ini, parlemen Korea Selatan merespons dengan mengesahkan undang-undang yang melarang menonton atau memiliki konten pornografi deepfake.
Sebagian besar pelaku yang terlibat dalam produksi dan penyebaran konten tersebut adalah remaja laki-laki, yang kerap menargetkan teman, kenalan, atau saudara perempuan mereka sebagai bahan lelucon atau tindakan kebencian terhadap wanita.
Baca Juga: Militer Ukraina Mundur dari Kota Vuhledar di Wilayah Timur, Setelah 2 Tahun Pertempuran Intens
Kasus ini menimbulkan pertanyaan serius tentang peran pendidikan di sekolah, sekaligus memperburuk kesenjangan gender yang sudah ada di Korea Selatan.
Banyak perempuan, terutama remaja, merasa ketakutan dan cemas dalam interaksi dengan teman laki-laki mereka. Mereka kehilangan rasa percaya satu sama lain.
Kasus-kasus deepfake ini semakin menjadi perhatian publik setelah daftar korban dari berbagai sekolah tersebar online.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Reuters