"Setiap warga negara berhak menyampaikan pendapat dan bertukar pikiran secara bebas, selama tidak melanggar hukum," kata Dhahana.
Staf Khusus Dewan Pengarah Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Benny Susetyo, bahkan menyebut aksi anarkis itu telah menghancurkan keadaban Pancasila, serta bertentangan dengan nilai kemanusiaan dan keadilan.
Bagi dia, diskusi dan dialog semacam acara yang digelar FTA itu, harusnya menjadi sarana dalam menyampaikan pandangan.
Sebaliknya, tindakan kekerasan, seperti yang dilakukan para pelaku pembubaran, bukan cuma melanggar hukum, juga menghina nilai-nilai kemanusiaan dan keadilan yang dijunjung tinggi konstitusi.
Bagi dia, terjadinya pembubaran diskusi di Kemang tak bisa dibiarkan, karena merongrong wibawa negara sebagai negara hukum.
Karena itu, perlu tindakan tegas dari aparat keamanan terhadap para pelaku aksi ini.
Hak untuk mengemukakan pendapat sebenarnya sudah umum diketahui telah dijamin negara.
Hal ini dibuktikan dengan berbagai peraturan perundang-undangan yang telah disahkan pemerintah untuk menjadi payung hukumnya.
Secara rinci, berikut adalah sejumlah peraturan perundang-undangan yang telah dilanggar dalam aksi pembubaran diskusi di Kemang.
Aturan ini juga menjadi payung hukum yang menjamin kebebasan berpendapat setiap orang di Indonesia.
Pasal 28 UUD 1945 berbunyi, "Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang"
Pasal 28E ayat (3) UUD 1945 berbunyi, "setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat."
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (HAM) juga menjamin hak berserikat.
Hal ini tercantum pada Pasal 24 ayat 1, yang berbunyi, "Setiap orang berhak untuk berkumpul, berapat, dan berserikat untuk maksud-maksud damai."
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Antara, Analisis Redaksi