INDOZONE.ID - Ketegangan baru dalam perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dan China kembali mengguncang pasar global pada Kamis 10 Aprill 2025.
Itu akibat langkah Presiden AS, Donald Trump, yang menaikkan tarif impor terhadap China. Kekhawatiran resesi perang dagang pun makin mencuat, apalagi muncul spekulasi China akan membalas dengan kebijakan serupa.
Hal ini berdampak langsung pada anjloknya harga saham dan minyak dunia. Kondisi ini muncul hanya sehari setelah Trump memberikan "jeda" dengan menangguhkan sebagian besar tarif barunya selama 90 hari.
Langkah tersebut sempat memberi napas lega bagi pasar dan pemimpin dunia.
Baca Juga: Donald Trump Tunda Kenaikan Tarif Selama 90 Hari, Khusus untuk China Tetap Naik 125 Persen!
Menteri Keuangan AS, Scott Bessent, bahkan menyebut lebih dari 75 negara telah menyatakan keinginan untuk memulai proses negosiasi dagang.
Trump sendiri juga menyampaikan harapannya agar tercapai kesepakatan dengan China. Akan tetapi, ketidakpastian yang masih berlangsung membuat perdagangan saham kembali bergejolak seperti saat awal pandemi COVID-19.
Indeks S&P 500 anjlok 3,5 persen pada Kamis, Nasdaq turun 4,3 persen, dan Dow Jones melemah 2,5 persen.
Sementara itu, harga minyak turun lebih dari 3 persen. Banyak pengamat menilai tarif Trump ke pasar saham menjadi salah satu faktor pemicu utama gejolak ini.
Baca Juga: Fakta-fakta Bea Masuk Barang dari China Capai 104 Persen Akibat Tarif Baru Trump
Secara keseluruhan, S&P 500 telah merosot sekitar 15 persen dari posisi puncaknya. Para analis mulai memperingatkan, bahwa kondisi ini berpotensi menyeret pasar ke zona bear market, yakni kondisi di mana harga saham turun lebih dari 20 persen dari puncak tertingginya.
“Penurunan yang awalnya tampak tidak teratur, sekarang mulai menunjukkan pola, meski risikonya masih sangat besar. Peluang terjadinya resesi kini jauh lebih tinggi dibanding beberapa minggu lalu,” ujar Adam Hetts, Kepala Multi-Aset Global di Janus Henderson, Denver.
Beberapa ekonom bahkan menyebut perang dagang Trump berakibat resesi adalah skenario yang kini makin masuk akal jika ketegangan terus berlanjut.
Bessent tetap optimistis. Menurutnya, kesepakatan dagang dengan berbagai negara dapat menghadirkan stabilitas dalam kebijakan tarif selama 90 hari ke depan.
“Saya tidak melihat ada hal yang luar biasa hari ini,” ujarnya mengenai gejolak pasar.
Ketegangan AS-China Meningkat
Meskipun memberi penangguhan pada puluhan negara, Trump justru menaikkan tarif terhadap barang-barang dari China yang kini efektif mencapai 145 persen jika digabungkan dengan tarif sebelumnya.
Kebijakan ini menambah daftar panjang dampak perang dagang Trump terhadap kestabilan ekonomi global.
Sebagai tanggapan, China kemungkinan akan menaikkan tarifnya yang saat ini sudah mencapai 84 persen.
Juru bicara Kementerian Perdagangan China, He Yongqian, menegaskan negaranya tidak akan tunduk pada tekanan atau ancaman dari Washington.
“Pintu dialog tetap terbuka, tetapi harus berdasarkan rasa saling menghormati,” katanya dalam konferensi pers rutin.
Di sisi lain, Trump tetap yakin kesepakatan bisa tercapai dengan China. Dia bahkan menyebut Presiden China, Xi Jinping, merupakan teman lamanya.
“Saya yakin kami bisa bekerja sama dengan baik. Presiden Xi adalah teman lama saya, dan saya menghormatinya,” kata Trump kepada wartawan.
Dampak Luas dan Kekhawatiran Resesi
Di tengah ketidakpastian, Goldman Sachs memperkirakan kemungkinan resesi AS mencapai 45 persen.
Penangguhan tarif oleh AS juga tidak berlaku bagi Kanada dan Meksiko. Produk dari kedua negara tetap dikenai tarif 25 persen terkait fentanyl, kecuali memenuhi aturan asal barang dalam perjanjian dagang USMCA.
Peneliti dari Yale University menyebutkan, bahwa meskipun ada penurunan beberapa tarif, rata-rata beban tarif impor AS saat ini tetap yang tertinggi dalam lebih dari satu abad.
Beberapa pengamat menyebut, bahwa pasar saham anjlok karena tarif Trump, terutama karena investor khawatir akan meningkatnya biaya produksi dan berkurangnya permintaan global.
Satu titik terang muncul dari Uni Eropa yang menyatakan akan menangguhkan tarif balasan mereka. Lebih dari selusin negara juga telah menawarkan untuk memulai negosiasi dagang.
Presiden Komisi Eropa Ursula von der Leyen menyatakan di platform X, bahwa Uni Eropa ingin memberi kesempatan untuk negosiasi, tetapi tetap siap memberlakukan tarif balasan jika kesepakatan tidak tercapai.
Padahal sebelumnya, Uni Eropa telah berencana menerapkan tarif balasan terhadap barang AS senilai lebih dari USD23 miliar minggu depan, sebagai respons terhadap tarif 25 persen AS atas baja dan aluminium.
Saat ini, mereka masih mengkaji respons terhadap tarif mobil dan kebijakan tarif 10 persen yang belum dicabut.
Bayang-bayang Ketidakpastian
Beberapa bank sentral juga menyuarakan kehati-hatian. Anggota Dewan Gubernur Bank Sentral Eropa, Francois Villeroy de Galhau, menyebut kabar terbaru memang tidak seburuk sebelumnya.
Namun, dia tetap memperingatkan, bahwa ketidakpastian bisa menghambat pertumbuhan ekonomi.
Trump mengklaim, AS kini menghasilkan pemasukan hingga USD2 miliar per hari dari tarifnya. Akan tetapi, laporan Departemen Keuangan AS mencatat bahwa pendapatan dari bea cukai pada Maret hanya mencapai USD8,75 miliar, naik sekitar USD2 miliar dibandingkan tahun lalu dan tertinggi sejak September 2022.
Kenaikan ini sebagian besar berasal dari peningkatan tarif sejak Februari lalu.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com