Selasa, 03 DESEMBER 2024 • 15:25 WIB

Pemimpin Oposisi Georgia Ditangkap saat Aksi Protes Besar yang Dukung Uni Eropa

Author

Polisi Georgia mengakhiri ketegangan dengan para demonstran dengan mengusir mereka dari gedung parlemen saat protes memasuki malam keempat

INDOZONE.ID - Georgia, sebuah negara yang terletak di persimpangan Eropa dan Asia, tengah bergolak dengan protes besar-besaran yang menentang keputusan pemerintah mengenai penundaan pembicaraan untuk bergabung dengan Uni Eropa (UE).

Tindakan polisi yang keras, termasuk penggunaan meriam air dan gas air mata, dilakukan untuk membubarkan demonstrasi yang dipicu oleh ketidakpuasan atas kebijakan pemerintah yang dianggap menjauh dari arah pro-Barat.

Polisi Georgia menangkap pemimpin oposisi terkemuka, Zurab Japaridze, setelah protes berlangsung pada Senin pagi. Penangkapan ini terjadi setelah ribuan pengunjuk rasa menuntut agar pemerintah melanjutkan perundingan dengan UE.

Protes tersebut semakin memanas ketika Perdana Menteri Irakli Kobakhidze menuduh oposisi melakukan "kekerasan terkoordinasi" yang berpotensi menggulingkan tatanan konstitusional negara.

Koalisi untuk Perubahan, partai oposisi terbesar di Georgia, mengonfirmasi penangkapan tersebut melalui media sosial, menggambarkan tindakan polisi sebagai upaya terarah untuk menindas oposisi.

Protes ini berakar dari pengumuman pemerintah minggu lalu yang menangguhkan pembicaraan dengan UE, yang menurut banyak pihak, mencerminkan pengaruh Rusia yang semakin besar terhadap kebijakan Georgia.

Baca Juga: Banjir Akibat Badai Bora Menggenangi Rumah dan Jalanan di Pulau Rhodes, Yunani

Kritikus melihat langkah ini sebagai kemunduran dalam aspirasi negara tersebut untuk bergabung dengan blok Barat, sebuah pandangan yang dengan keras dibantah oleh partai yang berkuasa.

Hal ini memicu ketegangan lebih lanjut, dengan Amerika Serikat dan Uni Eropa mengungkapkan keprihatinan atas apa yang mereka anggap sebagai mundurnya demokrasi di negara tersebut.

Georgian Dream, partai yang berkuasa, berusaha mempertahankan kedaulatan negara dengan menanggapi tekanan dari luar, terutama yang terkait dengan hubungan dengan Rusia.

Ketegangan ini juga tercermin dalam kebijakan kontroversial terkait undang-undang "agen asing" dan pembatasan hak-hak LGBTQ, yang semakin meningkatkan ketegangan di dalam negeri.

Protes di Tbilisi berlanjut selama beberapa malam, dengan demonstran melemparkan kembang api ke arah polisi yang membalas dengan kekuatan.

Sementara itu, ketegangan politik terus meningkat seiring dengan seruan dari oposisi dan Presiden Salome Zourabichvili untuk pemilu ulang setelah dugaan kecurangan dalam pemilu terakhir.

Banyak diplomat dan pegawai negeri Georgia juga telah menandatangani surat terbuka yang mengecam keputusan untuk menangguhkan pembicaraan dengan Uni Eropa, yang semakin memperburuk situasi politik di negara ini.

Sebagai respons terhadap ketegangan yang memuncak, Zourabichvili mendesak agar Mahkamah Konstitusi membatalkan hasil pemilu yang dimenangkan oleh Georgian Dream.

Namun, Perdana Menteri Kobakhidze menolak seruan tersebut dan tetap mempertahankan hasil pemilu yang telah disahkan.

Dengan situasi yang semakin memanas, protes di Georgia mencerminkan konflik antara aspirasi negara untuk bergabung dengan Barat dan tekanan dari Rusia, yang semakin mengubah dinamika politik dan sosial di negara tersebut.

Baca Juga: Topan Fengal Melanda India dan Sri Lanka, Tewaskan 19 Orang

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Aljazeera