Selama ini, rezim Assad sangat bergantung pada dukungan Rusia dan Iran. Rusia, melalui intervensi militernya pada 2015, berhasil membantu Assad merebut kembali wilayah yang sebelumnya dikuasai pemberontak. Namun, saat ini, Rusia tengah fokus pada perang di Ukraina, sehingga kemampuannya untuk mendukung Assad terbatas.
Di sisi lain, Iran juga menghadapi tekanan besar akibat konflik yang meningkat dengan Israel setelah perang Gaza. Kelompok-kelompok pro-Iran di Suriah kehilangan kekuatan akibat pertempuran dengan Israel, sehingga mengurangi dukungan mereka terhadap Assad.
Menurut Nick Heras dari New Lines Institute, keberlangsungan kekuasaan Assad sangat bergantung pada sejauh mana Rusia dan Iran masih melihatnya sebagai aset strategis. Jika salah satu atau keduanya memutuskan bahwa Assad tidak lagi bermanfaat, maka kekuasaannya tidak akan bertahan lama.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu.
Hizbullah, sekutu utama Assad dari Lebanon, juga mengalami kemunduran. Kelompok ini sebelumnya mengirim ribuan pejuang untuk mendukung rezim Assad sejak 2013. Namun, konflik terbaru dengan Israel memaksa Hizbollah menarik sebagian besar pejuangnya dari Suriah ke Lebanon selatan.
Selain kehilangan ratusan pejuang, Hezbollah juga kehilangan sejumlah pemimpin seniornya, termasuk Hassan Nasrallah, dalam serangan udara Israel. Kehilangan ini secara signifikan melemahkan peran Hizbollah dalam mendukung Assad.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, menyebut kejatuhan Assad sebagai "hasil langsung dari tekanan yang kami berikan kepada Iran dan Hizbullah, pendukung utama Assad."
Kejatuhan Bashar al-Assad menandai berakhirnya babak panjang konflik yang melanda Suriah selama lebih dari satu dekade.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com