INDOZONE.ID - Ketegangan yang semakin meningkat di kawasan Timur Tengah memunculkan kekhawatiran baru mengenai keamanan pasokan energi global. Eropa, yang sangat bergantung pada impor gas alam cair (LNG), kini menghadapi ancaman serius jika konflik antara Iran dan Israel terus bereskalasi. Ladang gas yang berlokasi strategis di kawasan tersebut berisiko menjadi target, dan hal ini bisa berdampak signifikan terhadap ekonomi Eropa.
Harga energi di Benua Biru terus merangkak naik di tengah krisis geopolitik yang melanda. Selain menyebabkan gangguan pada jalur distribusi bahan bakar utama dunia, krisis ini juga diperburuk oleh perang dagang akibat kebijakan tarif dari Amerika Serikat. Menurut Bank Dunia, pertumbuhan ekonomi global tahun ini diprediksi hanya mencapai 2,3 persen, mencerminkan kekhawatiran akan perlambatan ekonomi secara lebih luas.
Sejak Israel melancarkan serangan udara ke fasilitas militer dan nuklir Iran pada 13 Juni, harga minyak global melonjak lebih dari 10 persen. Keadaan semakin memanas setelah Amerika Serikat juga melakukan serangan terhadap tiga fasilitas nuklir milik Iran, mendorong harga bahan bakar ke level yang semakin tidak stabil.
Lonjakan harga dan gangguan pasokan yang terus terjadi telah menimbulkan tekanan berat terhadap produksi global. Pasar kini memperhitungkan risiko terhadap pasokan minyak dunia dan gas alam cair, terutama dari kawasan Teluk.
Iran memiliki posisi strategis dengan menguasai Selat Hormuz, jalur penting yang dilalui oleh sepertiga pengiriman minyak global dan seperlima LNG dunia. Jika selat ini sampai diblokade, harga minyak mentah dapat melonjak di atas 100 dolar AS per barel. Saat ini, harga minyak dunia berada di kisaran 75 dolar AS, sementara Brent internasional diperdagangkan di angka sekitar 77 dolar AS.
“Saya tidak berharap selat itu ditutup,” ungkap Dr. Yousef Alshammari, Presiden London College of Energy Economics, kepada Euronews Business. Ia menambahkan, “Itu karena Iran ingin Selat Hormuz tetap terbuka agar kapal-kapal kliennya, India dan China, bisa lewat.”
Namun demikian, meskipun jalur tersebut belum ditutup, ketegangan yang terus berlangsung telah menyebabkan beberapa perusahaan pengiriman enggan melintasi kawasan itu. Perusahaan minyak publik terbesar di dunia, Frontline, misalnya, telah menyatakan akan menolak kontrak baru yang mengharuskan pelayaran melewati Selat Hormuz.
“Perusahaan asuransi kemungkinan akan menaikkan tarif premi, apalagi Qatar mencoba menunda pengiriman LNG melalui selat tersebut,” tambah Alshammari.
Baca juga: AS dan Israel Serang Fasilitas Nuklir Iran, Teheran Siapkan Serangan Balasan
Di sisi lain, ladang gas South Pars yang dimiliki bersama oleh Iran dan Qatar menjadi pusat perhatian dunia karena kontribusinya yang besar terhadap produksi LNG global, termasuk ke Eropa.
Uni Eropa memang memiliki cadangan LNG yang mencukupi untuk sementara waktu, tetapi ketergantungan terhadap LNG non-Rusia membuat kawasan ini tetap rentan terhadap gejolak politik dan ekonomi internasional. Ketika pasar mulai mencemaskan potensi gangguan pasokan, harga gas Eropa melonjak. Indeks Dutch Title Transfer Facility (TTF), indikator utama harga gas di Eropa, naik ke level tertinggi dalam tiga bulan, mendekati €41/MWh pada Jumat siang waktu setempat.
Qatar, salah satu pemasok LNG utama Eropa, menyuplai hampir 10 persen kebutuhan kawasan tersebut. Selain Qatar, negara-negara seperti Mesir juga ikut berperan dalam suplai energi. Namun, sejak serangan Hamas pada 7 Oktober 2023 yang memicu reaksi militer Israel, sebagian produksi gas Israel dihentikan. Hal ini memaksa Mesir menghentikan pengiriman LNG-nya, sehingga harga gas di Eropa kembali melonjak.
Norwegia kini menjadi pemasok gas terbesar untuk Uni Eropa pada 2024, memenuhi sekitar 33 persen dari total kebutuhan impor. Pemasok lain meliputi Amerika Serikat, Aljazair, Qatar, Inggris, Azerbaijan, dan Rusia. Sementara itu, negara pengimpor LNG terbesar di kawasan adalah Prancis, Spanyol, Italia, Belanda, dan Belgia.
Jika pengiriman LNG dari Qatar terganggu, negara-negara seperti Belgia, Italia, dan Polandia diperkirakan akan terdampak paling parah. Laporan dari Institut Ekonomi Energi dan Analisis Keuangan (IEEFA) menunjukkan bahwa Polandia mengandalkan Qatar untuk 38 hingga 45 persen dari total impor LNG-nya.
Meskipun permintaan gas biasanya rendah saat musim panas, kondisi cuaca yang lebih panas dari biasanya di Eropa meningkatkan kebutuhan pendinginan dan konsumsi listrik, yang dapat menambah tekanan pada pasokan.
“Harga energi yang lebih tinggi mendorong inflasi dan dapat memengaruhi kebijakan bank sentral,” jelas Alshammari.
Bank sentral seperti Federal Reserve AS dan Bank of England saat ini berhati-hati dalam menurunkan suku bunga. Jika inflasi terus bertahan atau meningkat, bank-bank sentral Eropa mungkin akan kembali mengetatkan kebijakan moneternya, yang bisa menekan pertumbuhan ekonomi lebih lanjut melalui biaya pinjaman dan investasi yang lebih tinggi.
Marco Forgione, Direktur Jenderal Chartered Institute of Export and International Trade, menjelaskan bahwa setelah invasi Rusia ke Ukraina, Uni Eropa mulai mengganti pasokan gas dari Rusia ke negara produsen lain seperti Qatar. “Apa pun yang membatasi arus LNG akan langsung berdampak pada Eropa, terutama di sektor manufaktur,” ujarnya kepada Euronews.
Puncak permintaan minyak biasanya terjadi di musim panas karena peningkatan aktivitas industri. Namun, gangguan pasokan saat ini dan kenaikan harga akan menjadi tantangan berat bagi industri Eropa.
“Bagi perusahaan-perusahaan di Eropa, yang juga menghadapi tekanan dari perang dagang dengan Amerika Serikat, situasi saat ini seperti bermain catur empat dimensi,” kata Forgione. Ia memperkirakan bahwa lonjakan harga minyak dan penurunan volume pengiriman bisa memicu inflasi, kekurangan pasokan, dan fenomena shrinkflation, ukuran produk yang lebih kecil dengan harga yang tetap.
Konflik antara Iran dan Israel juga berpotensi memperparah ketidakpastian global. Iran, yang merupakan produsen minyak kesembilan terbesar di dunia, memiliki kapasitas produksi mencapai 3,8 juta barel per hari. Namun, akibat sanksi Barat, sebagian besar ekspor minyak Iran hanya bisa masuk ke China dan India.
Baca juga: Presiden Donald Trump Disebut Setuju Bantu Israel Serang Iran: Awal Perang Dunia III?
Saat ini, Iran mengekspor sekitar 1,5 juta barel minyak per hari, sekitar 10 persen dari total impor minyak China. Jika pasokan ini terganggu, China akan kesulitan mencari alternatif dalam waktu singkat, dan hal ini bisa menyebabkan harga energi global kembali melambung tinggi.
Konflik Iran-Israel yang terus berkembang memberikan tekanan besar terhadap pasar global. Volatilitas harga dan kekhawatiran investor akan berlanjut selama ketidakpastian ini tidak segera diselesaikan. Di tengah situasi yang semakin kompleks ini, peran Eropa sebagai kekuatan ekonomi dan politik juga berada di bawah sorotan.
“Kekhawatiran terbesar saya adalah hal ini dapat meningkat menjadi konflik yang lebih luas, yang melibatkan negara-negara Eropa, Inggris, dan Prancis. Ini adalah skenario yang tidak diinginkan siapa pun,” tutup Alshammari.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Euronews.com