INDOZONE.ID - Nahdlatul Ulama (NU) didirikan pada tahun 1926 sebagai sebuah organisasi sosial-keagamaan yang bertujuan untuk memelihara dan melestarikan ajaran Islam Ahlussunnah wal Jamaah di Indonesia.
NU berperan penting dalam membangun basis sosial yang kuat di tengah masyarakat, khususnya melalui pondok pesantren, yang menjadi pusat pendidikan dan penyebaran nilai-nilai keislaman yang moderat.
Selain mendidik umat secara keagamaan, NU juga terlibat aktif dalam berbagai kegiatan sosial, seperti pendidikan, kesehatan, serta pemberdayaan ekonomi di tingkat masyarakat.
Baca Juga: Soal Kecelakaan Tol Cipularang Diduga Akibat Kelalaian, Apakah Perusahaan Pemilik Truk Bisa Dihukum?
Seiring waktu, NU mulai merambah ke ranah politik, terutama pada masa awal kemerdekaan Indonesia dan era Demokrasi Terpimpin, ketika keterlibatannya dianggap penting untuk memperjuangkan aspirasi umat Islam di tingkat nasional.
Pada awalnya, NU bergabung dalam Masyumi, partai Islam utama kala itu, dan mendukung perjuangan militer melalui organisasi seperti PETA dan Hizbullah.
Namun, pada 3 Juli 1952, NU memutuskan keluar dari Masyumi dan menjadi partai politik setelah diputuskan dalam Muktamar Palembang pada 1 Mei 1952.
Keputusan ini didasari oleh beberapa alasan utama:
- NU ingin mandiri di politik karena merasa aspirasinya tidak sepenuhnya diakomodasi di Masyumi.
- Kurangnya toleransi antar organisasi anggota Masyumi, terutama karena dominasi kelompok intelektual modernis.
- Adanya perbedaan tradisi politik antara faksi tradisional NU dan intelektual modernis dalam Masyumi.
Baca Juga: Penahanan Ibu Ronald Tannur, Meirizka Widjaja yang Suap 3 Hakim Bakal Dipindahkan ke Jakarta
Perjuangan NU sebagai Partai Politik
Perjuangan NU (Nahdlatul Ulama) dalam ranah politik dimulai dengan semangat kuat untuk berpartisipasi dalam pemilihan umum sebagai upaya memperjuangkan aspirasi umat Islam.
Pada Muktamar di Palembang, NU menekankan pentingnya penyelenggaraan pemilu, yang dilihat sebagai sarana vital untuk memiliki perwakilan di DPR dan konstituante.
Partisipasi dalam pemilu ini juga dianggap NU sebagai bukti kemampuan politik mereka dan upaya memperoleh legitimasi politik dari para pengikutnya, terutama untuk membantah keraguan dari Masyumi (partai lain yang juga berakar pada komunitas Muslim).
Pada pemilihan umum pertama di Indonesia pada 1955, NU berhasil memperoleh suara yang signifikan dan menjadi salah satu partai besar di Indonesia.
Namun, pada akhirnya NU memilih melebur ke dalam Partai Persatuan Pembangunan (PPP) pada masa Orde Baru, mengembalikan organisasi ini ke bentuk awalnya sebagai jam’iyah yang berfokus pada pendidikan, dakwah, dan sosial.
Meski begitu, perubahan ini ternyata tidak berjalan secara mulus, dan perjuangan politik NU di bawah PPP menghadapi tantangan serta keterbatasan, karena ruang lingkupnya yang makin terbatas, tidak sejalan dengan dinamika politik yang berkembang.
Kembali ke Khittah 1926
Keterlibatan NU dalam politik membawa manfaat, namun juga tantangan yang cukup berat. Persaingan politik memicu ambisi kekuasaan di kalangan elite NU, yang terkadang menyebabkan konflik internal dan tekanan dari rezim berkuasa.
Pada Muktamar ke-27 di Situbondo tahun 1984, NU mengambil langkah penting dengan memutuskan kembali pada “Khittah 1926” yang menegaskan NU sebagai organisasi sosial-keagamaan yang tidak berafiliasi dengan partai politik.
Keputusan ini menjadikan NU kembali fokus pada pengembangan pendidikan, kesehatan, dan kesejahteraan sosial umat, serta menjaga jarak dari politik praktis.
NU menjadi kekuatan penting dalam upaya menjaga toleransi dan keberagaman di tengah masyarakat yang majemuk, sejalan dengan visi Ahlussunnah wal Jamaah yang inklusif dan moderat.
NU dan Politik di Era Modern
Dalam perjalanan yang lebih baru, meskipun NU secara organisasi tidak terlibat langsung dalam politik, banyak kader NU yang aktif di dunia politik dan bahkan menduduki posisi strategis di pemerintahan.
NU secara konsisten menyatakan bahwa para anggotanya berhak berperan dalam politik sebagai individu, dengan syarat tetap mengedepankan moralitas, keadilan, dan kepentingan umat.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Nu Online