Kamis, 11 JULI 2024 • 21:15 WIB

Pakar Hukum Tata Negara UGM Pesimis Pemberantasan Korupsi Semakin Baik, Ini Alasannya

Author

Ilustrasi korupsi. (ANTARA/Ardika/am).

INDOZONE.ID - Pakar Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM), Zainal Arifin Mochtar menyebut, pesimis pemberantasan korupsi di Indonesia ke depan akan lebih baik, tanpa adanya perbaikan dalam sistem perundang-undangan tindak pidana korupsi.

Dalam kesempatan dialog “KPK dan Masa Depan Pemberantasan Korupsi di Indonesia” di UC Hotel UGM, Depok, Sleman Yogyakarta baru-baru ini.

Pria yang kerap disapa Uceng ini tak melihat adanya komitmen dari orang-orang yang nantinya akan ada di pemerintahan ke depan.

Baca Juga: Usai Divonis 10 Tahun Penjara oleh Majelis Hakim, SYL Ucapkan Terima Kasih kepada Jokowi dan Surya Paloh

Melihat situasi tersebut, Ketua Departemen Hukum Tata Negara FH UGM, Zainal Arifin Mochtar menyebut dirinya sangat pesimis agenda pemberantasan korupsi ke depan dapat berjalan dengan baik.

“Variabel penting seperti mengembalikan independensi KPK, memperbaiki undang-undang tindak pidana korupsi, hingga penguatan faktor lain yang berkaitan dengan komitmen pemberantasan korupsi yang sama sekali tidak muncul dari Presiden terpilih,” katanya.

Ilustrasi korupsi. (FREEPIK)

Kendati demikian, dirinya menaruh harapan bahwa melalui momentum proses pemilihan ketua KPK yang baru disebutnya menjadi kesempatan kecil yang dapat dimanfaatkan dalam mendorong perbaikan di badan lembaga anti rasuah tersebut.

Partisipasi publik menjadi hal yang perlu didorong ke depan sebagai peran dalam pengawasan dan pemberantasan korupsi. Hal tersebut disampaikan oleh Direktur Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah yang meminta publik untuk turut memberikan tekanan kepada pemerintah yang memungkinkan pengawasan korupsi.

Baca Juga: 9 Kendaraan Terlibat Kecelakaan Beruntun di Tol Cipularang, Kepala Induk PJR Buka Suara

“Publik juga perlu ikut mengawasi proses pemilihan pimpinan KPK. Cegah kursi pimpinan KPK diisi oleh orang-orang yang bermasalah dengan titipan para penguasa,” ungkapnya.

“Jangan sampai ini (penegakan hukum) menjadi alat politik kekuasaan, oleh karena itu prosesnya perlu dikawal,” imbuhnya.

Dalam kesempatan tersebut turut hadir Sekretaris Pukat UGM, Hasrul Halili dan Deputi Sekjen Transparency International Indonesia (TII), Wawan Suyatmiko. Mereka merasa khawatir dengan kondisi KPK akhir-akhir ini yang pengawasannya semakin lemah.

Hal tersebut dapat dilihat melalui revisi Undang-Undang (UU) KPK. Regulasi baru KPK, yakni UU No. 19/2019 menempatkan KPK berada di bawah jajaran eksekutif dan pegawainya yang berstatus Aparatur Sipil Negara (ASN). Posisi KPK di lingkup eksekutif sejatinya merupakan pertanda hilangnya independensi.

Tidak hanya itu, pada kesempatan tersebut, ia juga memaparkan berbagai indikator kinerja yang terbagi dalam 6 dimensi pengukuran yang telah dikurangi jika dibandingkan dengan kinerja sebelum adanya revisi UU.

Dalam segi independensi, terjadi penurunan sebesar 55 persen dari 83 (2019) menjadi 28 persen. Kemudian pada dimensi penindakan terjadi penurunan sebesar 22 persen dari 83 persen (2019) menjadi 61 persen.

Selain itu, juga terdapat dimensi Kerjasama antar Antar Lembaga yang mengalami penurunan sebesar 25 persen dari 83 persen (2019) menjadi 58 persen.

Penurunan juga disebutkan terjadi pada 3 dimensi sisa yakni Anggaran, Akuntabilitas dan Integritas, dan pencegahan disebut mengalami penurunan.

KPK dalam beberapa waktu terakhir juga dihadapkan pada permasalahan problem etik dengan ditetapkannya mantan pucuk pimpinan KPK, Firly Bahuri dan kasus pungutan liar yang melibatkan 90 pegawai di tubuh KPK.


Banner Z Creators.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Liputan Langsung