INDOZONE.ID - Dalam debat calon wakil presiden beberapa waktu lalu, Gibran Rakabuming Raka dengan Mahfud MD membahas soal Rasio Pajak dan Badan Penerimaan Negara. Bahkan baru kali ini isu tentang rasio pajak atau tax ratio digadang-gadang menjadi perdebatan yang cukup serius.
Awal perdebatan ini terjadi ketika Mahfud MD mempertanyakan target rasio pajak atau rasio penerimaan negara yang dipaparkan Gibran. Capres-Cawapres Prabowo-Gibran menargetkan rasio pajak sebesar 23 persen dari produk domestik bruto (PDB).
Angka 23 persen itu kemudian diluruskan bukan rasio pajak, dalam arti rasio penerimaan pajak dengan PDB, melainkan rasio penerimaan negara terhadap PDB.
Sementara, Mahfud MD dalam kesempatan itu menganggap bahwa angka 23% dianggap tidak realistis.
Baca Juga: Jelang Puncak Arus Balik Nataru Pengamanan di Area Pelabuhan Parepare Bakal di Perketat
Khawatirnya malah memicu perburuan masif terhadap wajib pajak, mengharuskan pertumbuhan ekonomi yang ofensif, dan tentu saja menggenjot penerimaan pajak yang basis kepatuhan wajib pajaknya masih di kisaran 86 persen.
“23 Persen itu dari apa, dari PDB dari APBN, atau apa? Hati-hati lho.. Pajak itu sensitif kalau dinaikkan,“ ungkap Mahfud MD dalam debat Cawapres.
Gibran menjelaskan bahwa peningkatan rasio pajak itu akan dilakukan dengan membentuk Badan Penerimaan Negara (BPN) yang berada di bawah langsung Presiden. Ada pula upaya meningkatkan supaya para UMKM atau pelaku usaha naik kelas.
Para ahli dan pengamat pajak Indonesia pun menanggapinya. Praktisi dan Pengamat Pajak Indonesia sekaligus Founder dan CEO Hive Five, Sabar Lumban Tobing, salah satu yang menanggapi.
Baca Juga: Kapolda Metro Ungkap Alasan Lain Firli Bahuri Belum Ditahan: Kelihatanya Perkaranya Berkembang
Disebutkannya Rasio Pajak atau Tax Ratio merupakan indikator yang signifikan dalam konteks ekonomi suatu negara, mengukur proporsi pendapatan pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nominal negara tersebut.
Tax Ratio memiliki peran vital dalam penilaian kinerja penerimaan pajak pemerintah, serta mencerminkan kemampuan pemerintah untuk membiayai berbagai kebutuhan publik dengan sumber daya dalam negeri.
"Semakin tinggi Tax Ratio suatu negara, semakin besar ketergantungan pemerintah terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk pelaksanaan pembangunan. Dengan meningkatnya Tax Ratio, ketergantungan pada pembiayaan melalui utang pun dapat ditekan," ucapnya di Jakarta.
Sabar menambahkan, proses perhitungan Tax Ratio melibatkan dua pendekatan, yaitu dalam arti sempit dan dalam arti luas.
Dalam arti sempit, yang diterapkan pada saat tertentu, pembilangnya mencakup penerimaan pajak pusat seperti Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai/Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN/PPnBM), Pajak Bumi dan Bangunan (PBB), Bea dan Cukai, serta pajaklainnya.
Sementara dalam arti luas, seperti yang disarankan oleh Dana Moneter Internasional (IMF) dan Organisasi untuk Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD). Pembilangnya mencakup seluruh penerimaan pajak baik dari tingkat pusat maupun daerah, termasuk Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang bersumber dari royalti sumber daya alam (SDA).
Di Indonesia sudah mulai mengadopsi perhitungan Tax Ratio dalam arti luas, meskipun belum sepenuhnya. Karena komponen pajak daerah belum dimasukkan dalam perhitungan tersebut.
Belum lagi, saat ini pemerintah juga mengandalkan berbagai kebijakan teknis yang sesuai dengan peraturan yang berlaku.
Seperti perluasan basis pajak melalui integrasi Nomor Identifikasi Kepabeanan (NIK) dan Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP), peningkatan aktivitas ekstensifikasi pajak, optimalisasi implementasi sistem perpajakan inti (coretax system), dan penegakan hukum perpajakan yang adil.
Pemberian insentif fiskal yang terarah dan terukur juga menjadi bagian dari strategi untuk mencapai target Tax Ratio.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: