Sementara China merasa terganggu dengan pembatasan atas ekspor barang-barang penting dari AS seperti perangkat lunak chip dan komponen pembangkit listrik.
Kesepakatan 90 hari yang dicapai pada 12 Mei lalu di Jenewa untuk menghentikan saling balas tarif telah memberi angin segar pada pasar.
Pasar saham global pun merespons positif, termasuk indeks S&P 500 yang kini hanya sekitar 2 persen di bawah rekor tertingginya sejak Februari.
Walaupun langkah perdamaian sudah mulai terlihat, berbagai isu besar masih membayangi hubungan kedua negara.
Masalah perdagangan obat ilegal seperti fentanyl, ketegangan di Selat Taiwan, serta kritik AS terhadap model ekonomi ekspor-sentris Tiongkok masih menjadi tantangan tersendiri.
Trump sendiri dikenal sering kali mengubah arah kebijakan secara tiba-tiba, termasuk dalam isu perdagangan.
Pendekatan yang tidak konsisten ini membuat banyak pihak, termasuk pelaku usaha dan pemimpin negara lain, merasa bingung dan was-was.
Di sisi lain, China memandang ekspor mineral sebagai kekuatan tawar yang strategis. Jika ekspor ini dihentikan, bisa jadi perekonomian AS terganggu karena rantai produksi produk-produk berbasis mineral akan terhambat.
Hal ini berpotensi menimbulkan tekanan politik bagi Trump jika pertumbuhan ekonomi melambat.
Dalam beberapa tahun terakhir, para pejabat tinggi AS secara terbuka menyebut Tiongkok sebagai rival utama yang mampu menandingi pengaruh global AS, baik dari sisi militer maupun ekonomi.
Baca Juga: Elon Musk Mundur dari Jabatan Pemerintah AS Setelah Berseberangan dengan Trump
Karena itu, negosiasi dagang AS-China di London ini dinilai sebagai langkah penting yang tidak hanya berdampak pada hubungan bilateral, tapi juga pada arah ekonomi global secara keseluruhan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Washington Post