Dosen Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik FISIPOL-UGM, Dede Puji Setiono, pun buka suara. Dia menilai indeks integritas pendidikan itu jadi peringatan dan perhatian para pemangku kepentingan, mulai dari lembaga pendidikan hingga pemerintah.
“Jika kita mau jujur, ini bukan sekadar masalah angka, melainkan pertanda bahwa nilai-nilai integritas masih kalah saing dengan budaya “yang penting kelar”. Tetapi, sebagai akademisi, saya juga melihat ini sebagai kesempatan untuk merevitalisasi sistem,” kata Dede, Sabtu (3/5/2025).
BACA JUGA Ramai Wacama Pemakzulan Wapres Gibran, Begini Kata Pakar UGM
Dede pun menilai perlu adanya program integritas berbasis bukti yang dirancang oleh Kemendikti Saintek dan Kemendikdasmen.
Contohnya, memasukkan modul anti-korupsi dalam kurikulum pelatihan guru atau membuat sistem penghargaan bagi sekolah yang transparan. Dia pun berharap kejujuran kembali jadi yang utama di dunia pendidikan Indonesia.
"Apalagi ujian nasional atau ujian ujian sejenis yang sifatnya menguji “hafalan” tanpa critical thinking, misalnya, menjadi momok yang memaksa siswa mencari jalan pintas. Padahal, di negara lain, seperti Finlandia misalnya, sudah membuktikan: kurikulum fleksibel dan minim ujian standar justru melahirkan generasi kreatif," ujarnya.
Seperti penjelasan sebelumnya, selain sekolah, praktik gratifikasi hingga nepotisme juga terjadi di lingkungan kampus.
Untuk mencegak terjadi tindakan-tindakan ilegal tersebut, Dede menilai pihak kampus harus transparan perihal anggaran dengan mempublikasikannya ke platform daring.
"Kemudian untuk sistem pengadaan barang harus melibatkan auditor independen, bukan sekadar panitia internal yang bisa diatur," imbuhnya.
Sementara untuk menghilangkan budaya, menurutnya sudah saatnya pihak kampus menerapkan prinsip “blind selection” dalam rekrutmen vendor atau staf secara lebih serius. Nama perusahaan dan pemiliknya disembunyikan saat penilaian proposal.
"Dengan begitu, ‘koneksi’ tak lagi jadi senjata utama. Dan yang terpenting, sanksi! Rektor atau kepala sekolah yang terbukti nepotisme harus dicabut jabatannya, bukan hanya diberi teguran,” tuturnya.
Apabila seluruh kebijakan radikal ini dibuat, Dede berharap sekolah dan kampus Indonesia bisa jadi laboratorium integritas. Oleh sebab itu, dia menekankan pentingnya ada revolusi mindset!
BACA JUGA Soal Inpres Pengentasan Kemiskinan Ekstrim, Pakar Fisipol UGM Desak Pemerintah Lakukan Ini
“Untuk mencapainya, kita perlu revolusi mindset. Pendidikan bukan sekadar transfer ilmu, tapi pembentuk karakter. Kurikulum harus diperbaiki, kurangi jam hafalan, tambahkan proyek sosial yang melatih empati dan kejujuran. Dan yang utama, jadikan integritas sebagai investasi, bukan beban,” pungkasnya.