Sultan Qaboos bin Said Al Said. (REUTERS/Ahmed Jadallah)
Lahir di Dhofar pada 18 November 1940, Qaboos bin Said Al Said merupakan penguasa kedelapan dari Dinasti Al Said yang memerintah Oman sejak tahun 1744.
Di usia 18 tahun, Qaboos dikirim orangtuanya untuk menempuh pendidikan di Inggris, sekaligus mempererat hubungan sejarah antara Kerajaan Inggris dengan Kerajaan Oman.
Bahkan, ia sempat mengikuti pendidikan militer pada Akademi Militer Kerajaan di Sandhurst, untuk selanjutnya berdinas sebagai tentara Inggris dalam penugasan di Jerman Barat.
Usai menunaikan tugasnya sebagai tentara, Qaboos kembali ke Inggris pada tahun 1962 untuk menempuh studi pemerintahan daerah, sebelum akhirnya kembali ke Oman.
Sayang, sekembalinya ke Oman, Qaboos sempat dikurung di istana kerjaan di Salalah, lantaran perbedaan pandangan dengan sang ayah, Sultan Said pada tahun 1964 sampai 1970.
Pada 23 Juli 1970, Qaboos dengan dukungan Inggris melakukan kudeta tak berdarah dan menggulingkan kekuasaan sang ayah. Pangkalnya, kendati memiliki keuangan yang cukup, Sultan Said tidak melakukan pembangunan dan tidak membentuk lembaga pemerintahan.
Menjadi sultan di usia 30 tahun, Qaboos berjuang untuk membuka isolasi negara sekaligus memodernisasi Oman secara politik, ekonomi, hukum dan sosial. Ia pun harus menghadapi pemberontakan Dhofar, yang bisa diatasinya dengan bantuan Inggris, Yordania dan Iran.
Enggak cuma itu, Revolusi Iran pada tahun 1979 membuka matanya terhadap Selat Hormuz yang menjadi lokasi lalu-lintas perdagangan minyak global. Qaboos juga menjali kesepakatan dengan Amerika Serikat tahun 1980, terkait penggunaan fasilitas Oman untuk keadaan darurat.
Qaboos pula yang memoderenisasi sistem politik Oman, dengan memperluar partisipasi politik pada tahun 1981. Di tahun 2003, ia pun mulai menggelar Pemilu bebas untuk memilih dewan penasihat.
Qaboos sukses meredam konflik keluarga kerajaan yang berlangsung selama ratusan tahun, meredam konflik antar suku, sehingga bisa tercipta kestabilan politik, serta pembangunan infrastruktur dengan pendapatan dari minyak. Bahkan, ia juga sukses membangun salah satu angkatan bersenjata yang paling terlatih dengan persenjataan moderen di kawasan Asia Barat.
Di luar negeri, berkat diplomasi independennya, ia mampu menjaga perdamaian dalam konflik Arab Saudi dengan Iran, atau dalam sengketa Teluk dengan Qatar. Termasuk juga dalam konflik Perang Iran-Irak di tahun 1980-1988.
Qaboos pula yang membawa Oman mendinginkan pertentangan Iran-Amerika setelah tahun 1979. Serta membantu mediasi pembicaraan rahasia Iran - Amerika Serikat di tahun 2013, yang menghasilkan pakta nuklir internasional pada tahun 2015.
Setelah menderita sakit selama beberapa tahun belakangan, dan sempat dirawat di Belgia pada Desember 2019 lalu, Qaboos menghembuskan nafasnya di usia 79 tahun.
Sepeninggal Qaboos, Barat harap-harap cemas terkait penggantinya. Sebab, Qaboos tidak memiliki anak untuk mewarisi kekuasaannya. Sementara, Sultan merupakan kepala negara dan kepala pemerintahan Oman.
Terkait penggantinya, ada dua skema yang dimungkinkan. Pertama, mengangkat orang yang yang dipilihnya, seperti yang dia ungkapkan dalam suatu wawancara pada tahun 1997.
"Saya telah menuliskan dua nama, dalam urutan menurun, dan memasukkannya ke dalam amplop tertutup di dua wilayah berbeda," kata Qaboos seperti dilansir Reuters, Sabtu (11/1/2020).
Cara lainnya, melalui sistem sukses yang dibuatnya dalam Undang-Undang transfer kekuasaan yang dibuat pada tahuun 1996. Intinya, Sultan Oman akan dipilih tiga hari usai tahta kosong.
Bila ini gagal, maka Oman akan dikuasai oleh militer, Mahkamah Agung dan parlemen. Ketiga lembaga ini yang nantinya akan mengikuti nama yang telah dipilih oleh Qaboos dalam suratnya.
Ada tiga nama yang disebut menjadi calon penggantinya, yakni Assad, Shihab dan Haitham bin Tariq al-Said. Ketiganya merupakan sepupu Sultan Qaboos.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: