Senin, 04 NOVEMBER 2024 • 18:04 WIB

Viral Guru Enggan Tegur Siswa hingga Kasus Supriyani: Butuh Penyamaan Persepsi Setiap Elemen Pendidikan dan Mutual Respect

Author

Ilustrasi guru.

INDOZONE.ID - Video guru enggan menegur siswa karena takut dipolisikan, viral di media sosial (medsos) belakangan ini. Meski ternyata hanya konten, video itu bak kritik atas banyaknya kasus guru dipolisikan.

Salah satu kasus yang mencuri perhatian publik, menimpa Supriyani, seorang guru honorer di SDN 4 Baito, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara (Sultra).

Sidang eksepsi guru honorer Supriyani.

Supriyani dituduh melakukan tindak kekerasan terhadap salah seorang siswanya di sekolah. Meski tidak mengakui tuduhan tersebut, Supriyani ditahan oleh Kejaksaan Negeri Konawe Selatan di Lapas Perempuan III Kendari pada 16 Oktober 2024.

Lalu, kasus Supriyani pun viral di medsos karena ramai diperbincangkan. Pada 24 Oktober 2024, Supriyani bebas dari penjara. 

Meski begitu, proses hukum terhadap Supriyani tetap berjalan hingga kini menjalani sidang di Pengadilan Negeri (PN) Andolo. 

Baca Juga: Presiden Prabowo Rencanakan Tambah Gaji Guru Rp2 Juta, Hanya untuk Kriteria Tertentu!

Alhasil, kasus Supriyani hingga viralguru enggan menegur siswa karena takut dipolisikan, menjadi sorotan publik.

Penyamaan Persepsi Antara Setiap Elemen Pendidikan

Pakar Pendidikan Universitas Muhammadiyah Surabaya (UMSurabaya), Holy Ichda Wahyuni, mengomentari maraknya kasus guru dipolisikan.

Menurut Holy, kegelisahan guru karena takut dipolisikan saat menjalankan tugasnya, merupakan sebuah ironi. Pasalnya, cita-cita mewujudkan pendidikan karakter bisa menjadi utopia belaka.

“Jika kegelisahan ini terus terjadi maka ini sangat ironi, bahwa cita-cita dalam mewujudkan pendidikan karakter, saya rasa akan menjadi  utopia belaka,” kata Holy.

Dia menekankan, pentingnya penyamaan persepsi antara setiap elemen pendidikan, mulai dari guru, sekolah, hingga orang tua. Sebab, mendidik karakter merupakan tanggung jawab bersama, bukan guru seorang, yang berujung pada pendewasaan semua pihak.

Baca Juga: Waduh! Guru PNS di Jaksel yang Jadi DPO Pelecehan Siswi SD Ternyata Sudah Dicari Polisi Sejak 2023

“Penyamaan persepsi ini akan memiliki dampak pada proses pendewasaan masing-masing unsur stakeholders,” ungkapnya. 

Aksi dukungan guru kepada Supriyani.

Lalu, Holy menyatakan, guru mesti lebih dewasa dalam memilih pendekatan yang pas kepada siswa dalam proses belajar-mengajar. Guru bisa menggunakan pendekatan-pendekatan restorative daripada punishment.

“Tidak ada yang bersikap paling arogan, karena sebenarnya kedua belah pihak menginginkan tujuan yang sama, yakni bagaimana membentuk pribadi anak dengan karakter yang positif,” tegas Holy. 

Mutual Respect hingga Rencana Pengajuan Undang-Undang Perlindungan Guru

Sementara itu, INDOZONE juga mewawancarai Ketua Umum (Ketum) PB PGRI, Prof. Dr. Unifah Rosyidi, M.Pd., perihal pandangannya terhadap marak guru dipolisikan belakangan ini, termasuk kasus Supriyani.

Menurutnya, ada relasi tidak seimbang antara guru, siswa, dan orang tua. Relasi tidak seimbang membuat guru ada di posisi kurang nyaman, sehingga ada ketakutan dalam menjalankan tugasnya.

“Ada relasi tidak seimbang. Orang tua mendengar laporan anak, lalu secara sepihak melakukan tindakan kekerasan, baik fisik maupun verbal, atau lainnya pada guru, sehingga ada apatisme, ada rasa ketakutan, daripada saya dipolisikan, misalnya,” ungkap Prof. Unifah.

Baca Juga: Geger! Guru PNS Lecehkan Murid SD, Jadi DPO Polres Jaksel

Selain itu, dia pun menjelaskan, kasus Supriyani menjadi momentum untuk menyadari betapa pentingnya perlindungan terhadap tenaga pendidik. Prof. Unifah menyatakan, PGRI berniat mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru.

“Kasusnya Ibu Supriyani itu, menjadi momentum bagi kita semua, betapa pentingnya perlindungan guru. Oleh karena itu, PGRI akan melihat permasalahan itu untuk mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru,” jelasnya.

Maksud Undang-Undang Perlindungan Guru, menurut Prof. Unifah, adalah untuk melindungi siswa dan guru. Dia pun memandang, Undang-Undang Perlindungan Guru dapat menyehatkan relasi antara guru dan siswa.

“Maksudnya untuk apa? Maksudnya untuk melindungi siswa dan guru, keduanya. Guru tetap bisa mendidik, tetapi ada batasannya. Karena itu, kami mengajukan Undang-Undang Perlindungan Guru, supaya relasi ini sehat,” beber Prof. Unifah.

“Kami sudah cukup lama menginginkan ini, tetapi kementerian meyakinkan kami, bahwa tidak perlu karena cukup banyak aturan, misalnya Undang-Undang (Nomor 14 Tahun 2005) Guru dan Dosen,” tambahnya.

Dia pun menekankan, bahwa keberadaan Undang-Undang Perlindungan Guru akan berjalan beriringan dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, bukan saling berhadapan satu sama lain. 

Dia mengibaratkan Undang-Undang Perlindungan Guru akan memiliki mutual respect dengan Undang-Undang Perlindungan Anak, sehingga disebut berjalan beriringan. Mutual respect ini pun berlaku dalam hubungan guru, siswa, dan orang tua.

“Jadi, yang ada mutual respect. Respek yang sama, bahwa kita (guru) menyayangi anak, anak menyayangi guru, orang tua tidak sepihak. Itu perlunya Undang-Undang Perlindungan Guru, agar guru juga tenang,” terangnya.

“Kalau tidak ada relasi seimbang, yang rugi bangsa ini. Harus ada hubungan yang sehat, antara guru, siswa, orang tua. Yang sehat itu, dia tahu bahwa jika macam-macam melakukan tindakan sepihak, negara melindungi melalui Undang-Undang Perlindungan Guru,” ucap Prof. Unifah.

Diharapkan, setiap elemen pendidikan, termasuk orang tua, bisa bekerja sama untuk membentuk anak sebagai pribadi cerdas dengan karakter positif demi masa depan Indonesia.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Wawancara, UM Surabaya