Bagi Dedi, sikap tersebut cenderung mendua, karena FPI tak menunjukkan sikap yang sama terhadap keberadaan patung di tempat lain, seperti di kantor polisi atau markas TNI.
Karena perseteruan ini, Dedi sempat dilarang menghadiri acara penghargaan apresiasi kebudayaan dari Federasi Teater Indonesia di Taman Ismail Marzuki (TIM). Ia juga dicap sebagai 'Raja Syirik' karena mengizinkan pembangunan patung, yang oleh FPI dianggap sebagai simbol kemusyrikan.
Saat itu FPI melakukan sweeping untuk mencari keberadaan Dedi, mengatasnamakan warga Jakarta dan menyebut tak sudi Dedi Mulyadi menginjakkan kaki di Ibu Kota. Ini jadi momen kontroversial yang justru meningkatkan visibilitasnya.
Soal penghargaan kebudayaan, pada 2021 Dedi juga menerima penghargaan Satyalancana Kebudayaan dari Presiden RI karena dedikasinya menjaga dan mengangkat budaya Sunda.
Dedi Mulyadi melakukan simulasi program makan siang gratis di SDN Ciwangi, Kabupaten Purwakarta.
Selepas dua periode sebagai bupati, ia melompat ke DPR RI periode 2019–2023 mewakili Dapil Jawa Barat VII di bawah bendera Golkar. Dedi menjabat sebagai Ketua DPD Golkar Jawa Barat sejak 2016.
Pada Mei 2023, ia memutuskan hengkang dari Golkar dan bergabung ke Gerindra, membidik panggung pilgub Jabar.
Didukung oleh Gerindra dan Golkar, Dedi Mulyadi berpasangan dengan Erwan Setiawan dalam pilgub 27 November 2024. Pasangan nomor urut 4 ini memenangkan kontestasi dengan perolehan suara 62,22%, mendominasi seluruh 27 kabupaten/kota se‑Jabar.
Dedi dilantik sebagai Gubernur Ke-15 Jawa Barat pada 20 Februari 2025. Selangkah menjadi figur nasional, ia segera melaksanakan sejumlah kebijakan menonjol yang cukup kontroversial di kalangan masyarakat.
Di sektor pendidikan, Dedi melarang sekolah untuk membebani siswa dengan PR. Dia juga menerapkan jam malam bagi anak, yaitu larangan aktivitas di luar rumah pada 21.00-04.00.
Ini sejalan dengan jam masuk sekolah yang ditetapkan lebih awal, yaitu pukul 06.30 bagi PAUD hingga SMA. Ia bahkan mendelegitimasi kepala sekolah yang tidak mematuhi instruksi.
Program lain yang juga menjadi sorotan adalah “barak militer” untuk siswa bermasalah. Ini menjadi perhatian luas, hingga muncul laporan ke Komnas HAM dan Bareskrim Polri. Namun Dedi membela diri, dengan dukungan dari Menteri HAM yang memandang kebijakan ini berpotensi diterapkan secara nasional.
Awal karier Dedi Mulyadi sebagai legislatif lokal menunjukkan dedikasi panjang, dari partai hingga organisasi budaya dan sosial. Saat menjadi bupati, strategi membawa kearifan lokal—bahasa, adat, bahkan patung wayang—menciptakan citra “budayawan-pejuang rakyat”.
Di DPR RI dan Pilgub, ia piawai memutar keseimbangan antara ide nasional dan figur rakyat, yang resonan dengan polaritas politik masa kini.
Dari bonus pribadi untuk atlet, intervensi langsung dalam pendidikan, hingga politik moral—semua memperlihatkan gaya “hands-on, hands-in-impact”.
Baca Juga: Gubernur Dedi Mulyadi Resmi Hapus PR Bagi Pelajar di Jawa Barat, Fokus Belajar Cuma di Sekolah!
Kontroversi FPI, penerapan jam malam, hingga barak militer, menuai pro kontra, baik respons dari orang tua, guru, hingga asosiasi pendidikan.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Antara