Selasa, 08 APRIL 2025 • 10:39 WIB

Ekonomi Indonesia Dinilai Cukup Kuat Hadapi Pasar Dunia yang Bergejolak: Tak Bergantung Pada Ekspor AS

Author

Ilustrasi pergerakan IHSG di Bursa Efek Indonesia.

INDOZONE.ID - Kepala Riset Bahana Sekuritas, Satria Sambijantoro, menilai bahwa ekonomi Indonesia cukup kuat menghadapi gejolak perdagangan global. Ia mengatakan, pasar saham dalam negeri bisa saja pulih dengan cepat, karena ada dana asing yang masuk ke Indonesia.

Selama pasar saham Indonesia libur, dana investasi saham asal Indonesia (ETF) tercatat turun hingga 10 persen. Satria memperkirakan, hal ini bisa memicu pembatasan transaksi saat Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) kembali dibuka pada Selasa.

"Namun, ada kemungkinan pembeli institusional asing dan lokal akan muncul, dengan tingkat cash yang sudah tinggi karena penjualan ekuitas telah meningkat sebelum liburan panjang Idul Fitri," ujar Satria dalam laporan risetnya, Selasa (8/4/2025).

Baca Juga: Bangkitkan Ekonomi Daerah, Pemkot Makassar Upayakan Aktifkan Lagi BPR

Menurut dia, Indonesia tak terlalu bergantung pada ekspor ke Amerika Serikat (AS). Hanya sekitar 2 persen dari pendapatan nasional (PDB) yang berasal dari ekspor ke AS. Angka ini jauh lebih kecil dibanding negara Asia Tenggara lain, seperti Thailand (11 persen) dan Malaysia (10 persen).

Meski produk Indonesia akan dikenakan pajak impor sebesar 32 persen oleh AS, tarif ini masih tergolong rendah jika dibandingkan dengan negara pesaing seperti Bangladesh, Kamboja, Tiongkok, Sri Lanka, dan Vietnam, yang tarif impornya mencapai 37-49 persen.

"Mengingat paparan perdagangan yang minimal, Indonesia sebenarnya berada di zona 'Goldilocks' di tengah harga minyak yang lebih rendah, penurunan suku bunga global, dan latar belakang makro di dalam negeri,” tuturnya.

Selama tiga hari terakhir, penurunan harga saham terbesar terjadi di negara yang sangat tergantung pada perdagangan global, seperti Hong Kong, Jepang, Singapura, dan Taiwan. Di negara-negara berkembang seperti India dan Malaysia, penurunan hanya sekitar 8 persen.

Baca Juga: Ekonomi RI Alami Deflasi pada Februari 2025 Setelah 25 Tahun, BPS Sebut karena Diskon Tarif Listrik

Satria menjelaskan bahwa nilai tukar rupiah saat ini berada di posisi Rp17.000 per dolar AS, atau turun 11 persen dalam enam bulan terakhir. Tapi menurutnya, penurunan ini justru bisa menjadi pelindung alami terhadap pajak impor AS.

"Kami pikir mata uang yang dinilai rendah dapat meningkatkan daya saing ekspor manufaktur Indonesia ke AS dan daya tarik ekuitas dan obligasi di kalangan investor asing,” kata Satria.

Ia juga menilai tarif baru dari AS tidak akan terlalu berpengaruh besar pada keuntungan perusahaan-perusahaan Indonesia. Bahkan, menurut riset Bahana, bisa jadi margin keuntungan justru naik karena harga minyak dunia turun 15 persen dalam sebulan, sementara rupiah hanya melemah 5 persen.

"Pandangan kami adalah kapitulasi Presiden Donald Trump akan terjadi lebih cepat daripada yang diperkirakan; sedikit saja tanda-tandanya akan memicu pemulihan pasar yang akan lebih dahsyat daripada tahun 2020," katanya.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Laporan Riset