Namun, ia menilai harapan agar Trump memberikan proposal damai yang diterima semua pihak masih sangat tipis.
Sementara itu, Menteri Luar Negeri Rusia Sergey Lavrov sebelumnya menolak rencana perdamaian yang disebut-sebut diusulkan oleh tim Trump.
Dalam proposal tersebut, Ukraina diminta menyerahkan sebagian wilayah yang dikuasai Rusia, menunda proses keanggotaan NATO selama 20 tahun, dan menyetujui pengerahan pasukan penjaga perdamaian dari Eropa.
Lavrov dengan tegas menyatakan bahwa Rusia tidak puas dengan rencana tersebut.
Pemahaman Berbeda antara Moskow dan Washington
Ilya Budraitskis, seorang ilmuwan sosial Rusia, menjelaskan bahwa pemahaman Trump tentang konflik ini sangat berbeda dengan Moskow.
“Trump mempertimbangkan cara menyelesaikan masalah terkait perbatasan Federasi Rusia dengan Ukraina. Namun, bagi Kremlin, perang ini lebih terkait dengan peninjauan ulang arsitektur keamanan Eropa dan lingkup pengaruh di wilayah pasca-Soviet,” katanya.
Stanovaya menambahkan, pendukung Trump di Barat sering melebih-lebihkan kemampuan Trump untuk mengakhiri konflik.
Menurutnya, sikap Ukraina sendiri akan lebih menentukan jalannya perang.
“Ini akan menentukan masa depan konflik, seberapa cepat pasukan Rusia maju, atau seberapa serius perlawanan Ukraina,” katanya.
Di sisi lain, negara-negara Eropa yang mendukung Ukraina khawatir dengan kemungkinan Trump mengurangi komitmen Amerika terhadap NATO.
Budraitskis menyoroti pandangan Trump yang kerap menyebut sekutu Eropa "memanfaatkan" Amerika untuk mengatasi masalah keamanan mereka.
Namun, kepentingan jangka panjang Amerika di Eropa membuat Budraitskis yakin bahwa Washington tidak akan mudah menyetujui permintaan Kremlin.
Meski demikian, di dalam negeri, mayoritas warga Rusia masih mendukung jalannya operasi militer di Ukraina.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Al Jazeera