INDOZONE.ID - Asosiasi Mobilitas dan Pengantaran Digital Indonesia (Modantara) yang menaungi pelaku industri mobilitas dan pengantaran berbasis platform digital di Indonesia, memahami semangat gotong royong dalam mendukung mitra di Hari Raya serta menghargai perhatian pemerintah terhadap Mitra platform digital.
Komentar itu menyikapi pengemudi atau ojek online (online) yang melakukan demonstrasi di berbagai kota di Indonesia pada Senin, 17 Februari 2025. Mereka mendesak pemerintah menerbitkan regulasi terkait pemberian Tunjangan Hari Raya (THR).
Direktur Eksekutif Modantara, Agung Yudha menegaskan keberatannya jika regulasi dibuat tidak berimbang dan hanya mementingkan satu pihak saja.
“Namun, perlu diingat jika kebijakan yang diatur tidak berimbang maka berpotensi menimbulkan dampak ekonomi serius bagi industri berkembang yang memiliki ekosistem bisnis yang unik, dibandingkan sektor konvensional. Dalam praktiknya, pelaku industri on-demand masih menghadapi berbagai tantangan dalam mengusahakan pertumbuhan bisnis yang berkelanjutan,” tutur Agung dalam pernyataan yang diterima Indozone, Kamis (20/2/2025).
Baca Juga: Ekonom: THR Ojol Berpotensi Jadi Preseden Buruk bagi Iklim Investasi
Ia menjelaskan bahwa kondisi saat ini, sektor platform digital (aplikator) telah memberikan akses bagi jutaan individu untuk memperoleh penghasilan alternatif dengan fleksibilitas tinggi, sebuah karakteristik utama yang menjadi daya tarik industri ini.
Agung memaparkan, berdasarkan data ITB (2023), model kerja fleksibel tersebut bahkan telah berkontribusi pada 2% dari PDB Indonesia pada tahun 2022.
“Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa setiap kebijakan yang diterbitkan tidak justru menghambat pertumbuhan atau bahkan membatasi manfaat yang telah diberikan kepada para mitra,” ungkapnya.
Baca Juga: Pengemudi Ojol Demo Massal di Kemnaker, Tuntut Dapat THR
Selain itu, berdasarkan Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) BPS, Indonesia memiliki 84,2 juta pekerja informal, dengan 41,6 juta di antaranya sebagai pekerja gig. Dari jumlah tersebut, sekitar 1,8 juta atau 4,6% bekerja di layanan ride-hailing seperti ojek dan taksi online.
“Artinya, regulasi yang kurang tepat pasti dapat berdampak pada jutaan individu yang menggantungkan hidupnya pada industri ini,” Agung mewanti-wanti.
Dia pun memaparkan lima poin dampak negatif terkait kebijakan yang terlalu kaku terhadap platform digital:
1. Pengurangan Jumlah Mitra
Regulasi ketat membuat platform sulit beroperasi, mengurangi jumlah mitra, dan berujung pada hilangnya pekerjaan bagi jutaan orang yang mengandalkan sektor ini sebagai sumber pendapatan utama.
2. Kenaikan Harga Layanan
Kewajiban menjadikan Mitra sebagai karyawan menyebabkan kenaikan biaya operasional yang pada akhirnya diteruskan kepada konsumen dalam bentuk harga layanan yang lebih tinggi.
3. Berkurangnya Fleksibilitas Kerja
Banyak Mitra yang bergabung dengan platform digital karena fleksibilitas yang ditawarkan. Jika dipaksa menjadi karyawan tetap, mereka akan kehilangan kebebasan dalam mengatur waktu dan beban kerja mereka.
4. Dampak Negatif pada Ekosistem Bisnis Lain
Jika platform menghadapi kesulitan finansial akibat regulasi ketat, maka UMKM, restoran, pedagang kecil, dan bisnis lain yang bergantung pada platform ini juga akan terkena dampaknya.
Baca Juga: Polemik THR bagi Driver Ojol, Hak atau Beban Perusahaan?
5. Kemungkinan Gulung Tikarnya Aplikator
Jika biaya operasional meningkat drastis sementara permintaan turun akibat kenaikan harga layanan, beberapa aplikator dapat mengalami kesulitan finansial hingga harus menutup layanan mereka sepenuhnya.
Contohnya, di Spanyol, Deliveroo memilih keluar dari pasar karena regulasi yang tidak memungkinkan bisnis mereka beroperasi secara berkelanjutan. Hal ini bisa berdampak luas pada ribuan mitra yang kehilangan akses terhadap sumber penghasilan mereka.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Narasumber