Dalam pidatonya, Prof. Suci menyampaikan tantangan utama bagi produsen pangan asal hewan di Indonesia tidak hanya terletak pada kuantitas, tetapi juga kualitas. Indonesia saat ini masih menghadapi kesenjangan dalam pemenuhan asupan protein hewani.
Data FAO tahun 2022 menunjukkan, rata-rata pasokan protein hewani harian per kapita di Indonesia baru mencapai 29,35 gram. Hal itu masih lebih rendah dibandingkan rata-rata negara Asia yang mencapai 34,29 gram.
"Disparitas ini mencerminkan ruang bagi pelaku usaha untuk meningkatkan asupan protein hewani,” ujarnya dalam keterangan yang diterima wartawan, Jumat (9/5/2025).
BACA JUGA: UGM Dongkrak Pertanian Kulon Progo Melalui Budidaya Melon Premium
Menurutnya, peningkatan kuantitas pangan asal hewan saja tidak cukup, tanpa adanya jaminan mutu. Dalam hal ini, sertifikasi higiene sanitasi menjadi sangat penting untuk menjamin produk yang aman dan layak konsumsi.
Pemerintah Indonesia melalui regulasi Nomor Kontrol Veteriner (NKV) juga telah berupaya menjamin aspek keamanan pangan, namun adopsi terhadap sertifikasi ini masih rendah.
"Sejak diberlakukan regulasi NKV pada 2020, belum banyak produsen pangan asal hewan yang mengadopsi sertifikasi tersebut, terutama produsen yang menghasilkan produk pangan asal hewan yang masih segar dan belum diolah,” jelasnya.
Hambatan utama datang dari skala usaha peternakan yang masih didominasi oleh mikro dan kecil, keterbatasan lahan, serta minimnya kesadaran konsumen terhadap pentingnya sertifikasi.
Untuk mengatasi hal ini, Suci menawarkan pendekatan biosekuriti kolektif.
BACA JUGA: Civitas UGM dan Nakes Beberkan Alasan Tolak Kolegium Kesehatan Baru: Kami Bukan Menolak, Tapi...
“Model biosekuriti yang ada saat ini terbatas diterapkan secara individu pada setiap badan usaha, namun perlu dipertimbangkan model biosekuriti kolektif khususnya bagi produsen pangan asal hewan skala mikro dan kecil,” terangnya.
Biosekuriti kolektif yang dimaksud adalah pengaturan tata ruang produksi secara bersama pada lahan yang sama oleh sekelompok produsen.
Model ini dinilai lebih efisien dan memungkinkan produsen skala kecil untuk memenuhi standar higiene sanitasi secara kolektif, sehingga mereka dapat memperoleh sertifikasi NKV, dan meningkatkan daya saing produk.