Kategori Berita
Media Network
Kamis, 08 MEI 2025 • 17:01 WIB

Civitas UGM dan Nakes Beberkan Alasan Tolak Kolegium Kesehatan Baru: Kami Bukan Menolak, Tapi...


INDOZONE.ID -
Para dosen UGM yang tergabung dalam Civitad Bulaksumur menyuarakan keprihatinan atas pengambil-alihan Kolegium Kesehatan Indonesia (KKI) oleh pemerintah. Mereka berorasi di depan Grha Sabha Pramana (GSP) Universitas Gajah Mada (UGM), pada Rabu (7/5/2025) kemarin.

Keprihatinan bermula dari perubahan sejumlah Undang-undang (UU) yang menjadi UU Nomor 17 Tahun 2023, tentang Kesehatan atau Omnibus Law Kesehatan hingga terbentuknya kolegium dari Kementerian Kesehatan (Kemenkes).

"Padahal selama ini sudah ada kolegium dari organisasi profesi, yang berasal dari masing-masing disiplin ilmu," kata Moderator Pemikiran Bulaksumur, Budi Yuli Setianto kepada awak media usai orasi.

Dokter Spesialis Jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta itu meyayangkan, kebijakan tersebut dinilai mengakibatkan hilangnya kebebasan berpendapat dan memecah belah profesi kedokteran atau kesehatan.

"Ironisnya, pemangku kepentingan telah mengeluarkan kebijakan di bidang kesehatan yang sistematis mengakibatkan hilangnya kebebasan berpendapat dan independensi, mengintimidasi, memecah belah profesi kedokteran atau kesehatan, serta mereduksi fungsi rumah sakit pendidikan," ujarnya.

Meski begitu, Budi menekankan, ia tidak menentang adanya kolegium baru tersebut. Menurutnya, terbentuknya suatu kolegium dari Kementerian Kesehatan yang notabene sudah ada kolegium dari organisasi profesi dan masing-masing disiplin ilmu. 

“Kami tidak menentang adanya UU kesehatan dari kolegium tersebut. Tetapi dengan adanya kolegium yang baru ini, terjadi pergeseran tentang wewenang yang mengatur masalah tugas kolegium, yang notabene membuat standar kompetensi dan kurikulum,” ucapnya.

Diketahui, berdasarkan UU No. 17/2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024, sebagaimana dilansir dari laman resmi Kemenkes, memang terjadi perubahan besar dalam struktur kelembagaan Kolegium Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Kolegium yang sebelumnya berada di bawah naungan organisasi profesi, kini menjadi alat kelengkapan Konsil Kesehatan Indonesia (KKI). Sebab sebagai pengampu disiplin ilmu, Kolegium memiliki dasar hukum lebih kuat untuk menjalankan fungsinya dalam standarisasi kompetensi, serta pelatihan Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Kemudian, Menteri Kesehatan (Menkes) juga menetapkan KKI guna mengoordinasikan tugas, fungsi dan wewenang Kolegium. KKI bentukan pemerintah ini beranggotakan perwakilan dari setiap Kolegium Tenaga Medis dan Tenaga Kesehatan.

Lanjut Budi menuturkan selama ini Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) yang berbasis universitas (University Based). Namun kemudian bergeser wewenangnya menjadi PPDS Berbasis Rumah Sakit Pendidikan Penyelenggara Utama (RSP-PU) atau Hospitasl Based.
 
BACA JUGA: Soal Usulan Daerah Istimewa Baru, Pakar UGM Tegaskan Utamakan Kesejahteraan Rakyat Bukan Kepentingan Elit

Budi menilai, pemerintah berdalih pada wewenang baru itu bertujuan untuk mengatasi masalah kekurangan produksi dokter spesialis, dan distribusi dokter spesialis yang tidak merata. Padahal, kata dia, itu tidak sesuai dengan pasal 12 dalam UU Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, yang notabene belum masuk dalam Omnibus Law Kesehatan.

"Selain dampaknya dapat memecah tenaga kesehatan, menurutnya ketika mereka (medis) mengkritisi kebijakan pemerintah itu, maka langsung mendapatkan SK pemutasian/pemindahan. Padahal, mereka adalah orang-orang yang penting di dunia pendidikan untuk mengajari para dokter spesialis," jelasnya.
 
Dokter Spesialis Jantung RSUP Dr. Sardjito Yogyakarta, Prof Budi Yuli Setianto (kanan) dan Dosen UGM, Wahyudi Kumorotomo (kiri)

"Mungkin bapak dan ibu sekalian sudah mendengar dimutasikan, sehingga kita menjadi takut bersuara. Kami di sini menghimbau bahwa kita itu sekali lagi bukan menentang, tapi mau meluruskan, artinya, kenapa tidak ada diskusi dulu sebelum ada suatu pemilihan yang notabene kurang dipikirkan adalah orang-orang yang penting dalam dunia pendidikan untuk mengajari para dokter spesialis," lanjutnya.

Pada kesempatan itu, salah satu dosen UGM, Wahyudi Kumorotomo, menambahkan, dampak negatif terhadap kolegium kesehatan yang baru itu berbahaya, ia tidak memungkiri jika baru-baru ini ada sejumlah kasus dalam hubungan dokter spesialis dengan para residen yang mengikuti PPDS berbasis universitas, dan ada beberapa ekses.

Namun, itu semestinya dilakukan dengan mengurangi sumber eksesnya, serta melakukan evaluasi terhadap cara pembelajarannya.

“Bukan dengan menutup programnya, kemudian menghukum semua dokter spesialis yang ada di situ, termasuk jika ada dokter yang menentang, surat tanda register (STR) dokter-nya kemudian dicabut,” sesalnya.

Wahyudi juga menilai terhadap implikasi dari pencabutan hak-hak dokter itu akan sangat kuat. Imbasnya, selain dokter merasa tidak nyaman karena takut melakukan hal yang bertentangan dengan KKI, mereka juga tidak ada kepastian tentang standar kualifikasi pendidikan kedokteran, terutama spesialis yang benar-benar memenuhi standar dari kolegium atau asosiasi para dokter selama ini.

Sehingga, ia juga berharap, pemikiran ini bisa disampaikan kepada para perumus kebijakan agar tidak terjadi hal-hal yang menjadi kelemahan kebijakan selama ini.

“Meskipun bukan dari dokter tapi mendukung keprihatinan para dokter. Jangan seperti yang kita lihat sekarang, banyak Prodi yang ditutup, dan dokter diberhentikan secara sepihak tanpa diberi hak jawab, dan tanpa ada penjelasan penyebab persoalannya. Itu sangat berbahaya,” tuturnya.

Untuk itu, UGM mengajak semua pihak berkomitmen, bersinergi, berkolaborasi menjaga marwah pendidikan kedokteran/kesehatan untuk peningkatan derajat kesehatan bangsa.

"Kami tidak ingin menyaksikan bahwa kepentingan para dokter untuk melayani sengaja dibenturkan antara RS dengan universitas, maupun antar pekerja kesehatan atas nama kekuasaan,” pungkasnya.

Empat Poin Suara Keprihatinan Bulaksumur

Adapun empat poin Suara Keprihatinan Bulaksumur yang merupakan hasil Pemikiran Bulaksumur, yakni di antaranya:

Pertama, pergeseran transformasi layanan kesehatan yang seharusnya berorientasi kepada keselamatan pasien dan nilai kemanusiaan, menjadi kapitalisasi/keuntungan finansial telah mengakibatkan terjadinya eksploitasi tenaga kesehatan serta pelanggaran etika kedokteran/kesehatan.
 
BACA JUGA: KP2KN Somasi Menkes ke PTUN Hingga MA Untuk Segera Mencabut Aturan Baru Perbaikan Kolegium Pendidikan Kedokteran: Ini Sudah Offside

Kedua, reduksi peran Rumah Sakit Kementerian Kesehatan dan beberapa Rumah Sakit Daerah sebagai Rumah Sakit Pendidikan dengan penerapan berbagai kebijakan yang tidak akomodatif, serta menghilangkan fungsi sinergi dan kolaboratif dengan institusi pendidikan di lingkungan Kementerian Pendidikan Tinggi, Sains, dan Teknologi.

Ketiga, penggunaan kekuasaan untuk penghilangan independensi profesi kedokteran/kesehatan, termasuk penguasaan konsil dan kolegium yang merupakan penjaga utama keilmuan dan profesionalitas kedokteran/kesehatan.

Keempat, penggunaan kekuasaan untuk mengintimidasi dan memecah belah profesi kedokteran/kesehatan.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Liputan Langsung

BERITA TERKAIT
BERITA TERBARU

Civitas UGM dan Nakes Beberkan Alasan Tolak Kolegium Kesehatan Baru: Kami Bukan Menolak, Tapi...

Link berhasil disalin!