INDOZONE.ID - Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi (PSHK) Fakultas Hukum (FH) Universitas Islam Indonesia di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yakni Retno Widiastuti menanggapi terkait putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang telah memutus perkara No. 62/PUU-XXII/2024 tentang presidential threshold untuk menghapuskan ambang batas minimal presentase 20% dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden (presidential threshold).
Menurutnya, putusan ini membawa angin segar bagi pelaksanaan demokrasi dan keteguhan konstitusi di Indonesia karena memiliki landasan argumentasi yang kuat terutama mengembalikan hak konstitusional partai politik peserta Pemilihan Umum (Pemilu) untuk dapat mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
"Berikutnya, meneguhkan kedaulatan rakyat dan hak politik warga negara karena sebelumnya dibatasi dengan tidak tersedianya cukup banyak alternatif pilihan pasangan calon presiden dan wakil presiden yang ditawarkan kepada pemilih. Serta mengembalikan makna presidential threshold sesuai pasal 6 UUD NRI 1945 sebagai syarat keterpilhan presiden dan wakil presiden bukan ambang batas minimal presentase 20% dalam pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden," katanya, Jumat (3/1/2025).
Lanjut Retno menuturkan, meskipun terdapat fakta bahwa presidential threshold telah diterapkan dalam penyelenggaraan 5 Pemilu dan telah diputus MK sebanyak 33 kali judicial review.
Akan tetapi konsep judicial review di Indonesia, sejatinya tidak selalu menghendaki MK untuk selalu terjebak pada pilihan konservatisme yang hanya menekankan pada aspek kepastian hukum tetapi menyediakan alternatif progresivisme untuk mencapai keadilan subtantif.
"Sehingga upaya perubahan pendirian MK pada perkara ini (dari open legal policy menjadi perkara konstitusional) harus dimaknai sebagai ikhtiar dalam menegakkan konstitusi," tegasnya.
Selain itu, lanjut Retno menyebut bahwa putusan ini memiliki mandat konstitusional bagi pembentuk undang-undang untuk merevisi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU 7/2017) dengan cara rekayasa konstitusional (constitutional engineering) yang juga harus dengan memperhatikan hal-hal yang diantaranya :
Pertama, semua partai politik peserta pemilu berhak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden.
Kedua, pengusulan pasangan calon presiden dan wakil presiden oleh partai politik atau gabungan partai politik peserta pemilu tidak didasarkan pada persentase jumlah kursi di DPR atau perolehan suara sah secara nasional.
Ketiga, dalam mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden, partai politik (parpol) peserta pemilu dapat bergabung sepanjang gabungan parpol peserta pemilu tersebut tidak menyebabkan dominasi partai politik atau gabungan partai politik sehingga menyebabkan terbatasnya pasangan calon presiden dan wakil presiden serta terbatasnya pilihan pemilih," terangnya.
Keempat, partai politik peserta pemilu yang tidak mengusulkan pasangan calon presiden dan wakil presiden dikenakan sanksi larangan mengikuti pemilu periode berikutnya.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Keterangan Pers