INDOZONE.ID - Pada hari Jumat (1/11), harga minyak mengalami sedikit kenaikan setelah muncul kabar bahwa Iran bersiap melakukan serangan balasan terhadap Israel dari Irak dalam beberapa hari mendatang. Namun, peningkatan produksi minyak AS yang mencapai rekor justru memberi tekanan pada harga.
Minyak mentah jenis Brent naik sebesar 29 sen atau sekitar 0,4 persen, ditutup pada harga $73,10 per barel (Rp 1,15 Juta).
Sementara itu, minyak West Texas Intermediate (WTI) di AS meningkat 23 sen atau 0,3 persen, berakhir di $69,49 per barel (Rp 1,1 Juta).
Baca Juga: Harga Minyak Dunia Meningkat 3 Persen Setelah Iran Luncurkan Rudal ke Israel
Pada titik tertinggi sesi perdagangan, keduanya sempat naik lebih dari $2 per barel (Rp 31 ribu).
Dalam sepekan terakhir, harga Brent turun sekitar 4 persen dan WTI turun sekitar 3 persen.
Menurut laporan situs berita Axios, intelijen Israel mengindikasikan bahwa Iran sedang mempersiapkan serangan dari Irak dalam waktu dekat, yang dikutip dari dua sumber anonim di Israel.
Baca Juga: Zelenskyy Bilang Perang Masuki Fase Krusial, Ukraina Serang Fasilitas Minyak Rusia
Analis SEB Research, Ole Hvalbye, mengatakan, "Respon Iran kemungkinan masih akan terkendali, mirip dengan serangan terbatas yang dilakukan Israel akhir pekan lalu, lebih sebagai bentuk unjuk kekuatan daripada langkah menuju perang terbuka."
Iran dan Israel telah terlibat dalam beberapa kali serangan balasan di wilayah Timur Tengah yang kini semakin tegang akibat konflik di Gaza. Serangan udara Iran terhadap Israel pada 1 Oktober dan April sebelumnya berhasil ditangkis, dengan kerusakan minimal.
Iran, sebagai anggota OPEC, memproduksi sekitar 4 juta barel minyak per hari pada tahun 2023, berdasarkan data Badan Informasi Energi AS (EIA).
Ekspor minyak Iran diperkirakan mencapai 1,5 juta barel per hari pada tahun 2024, naik dari perkiraan 1,4 juta barel per hari pada tahun 2023.
Iran juga diketahui mendukung beberapa kelompok yang sedang bertempur dengan Israel, termasuk Hizbullah di Lebanon, Hamas di Gaza, dan Houthi di Yaman.
Seorang pejabat AS telah meminta Lebanon untuk mengumumkan gencatan senjata sepihak dengan Israel dalam upaya melanjutkan pembicaraan damai antara Israel dan Hizbullah. Namun, kedua pihak menyangkal permintaan tersebut.
Harga minyak juga didukung oleh kemungkinan bahwa OPEC+ akan menunda kenaikan produksi yang semula dijadwalkan pada bulan Desember.
Penundaan ini dilihat sebagai respon atas lemahnya permintaan minyak dan peningkatan pasokan. Keputusan dapat diambil paling cepat minggu depan.
OPEC+ mencakup negara-negara anggota OPEC dan sekutunya seperti Rusia dan Kazakhstan.
Di sisi lain, meski OPEC+ menahan produksi, perusahaan minyak besar AS seperti Exxon Mobil melaporkan bahwa produksinya mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, sementara Chevron mencatat rekor produksi di AS.
Menurut EIA AS, para pengebor di AS mencatat produksi tertinggi sebesar 13,5 juta barel per hari.
Produksi pada Agustus juga mencapai rekor 13,4 juta barel per hari dan diperkirakan akan mencapai 13,2 juta barel per hari pada tahun 2024 serta 13,5 juta barel per hari pada tahun 2025.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: Channelnewsasia.com