Pertemuan yang digelar di Kantor Panitikismo tersebut, dihadiri perwakilan warga, LBH Yogyakarta sebagai pendamping hukum, serta perwakilan dari PT KAI yang menjadi bagian legal dan aset.
Namun, warga menilai, pertemuan itu bukanlah musyawarah melainkan sekadar sosialisasi sepihak dari PT KAI.
“Pertemuan kemarin bukan musyawarah, karena yang terjadi hanya interaksi sepihak dari PT KAI tanpa ada dialog yang bermakna. Begitu warga bertanya, penjelasannya hanya 'ini instruksi pimpinan' dan 'peraturan direksi' yang ketika diminta untuk menyampaikan, justru disebut rahasia,” ujar Raka Ramadan, selaki pendamping hukum warga Lempuyangan kepada wartawan, pada Kamis (5/6/2025).
BACA JUGA: Didatangi Warga Terdampak Wacana Penggusuran Kawasan Stasiun Lempuyangan, DPRD DIY : Jangan Sampai Ada yang Terlantar Raka juga menyesali sikap PT KAI yang dinilai tidak transparan, dan tidak menghormati prinsip keterbukaan informasi publik. Menurutnya, informasi selama ini berdampak langsung kepada warga.
“Kalau memang itu rahasia, tunjukkan dulu dasar hukumnya bahwa itu informasi yang biasa. Sepanjang tidak bisa dibuktikan, maka kami menganggap ini bentuk ketidaktaatan terhadap keterbukaan informasi publik. Padahal warga sebagai pihak terdampak jelas memiliki hak," tuturnya.
Dalam pertemuan yang difasilitasi Kraton itu, warga juga kembali menyampaikan tuntutan, salah satunya permintaan waktu yang layak sebelum relokasi. Namun, tawaran dari PT KAI yakni rumah singgah senilai Rp10 juta, ganti rugi Rp250 ribu per meter untuk bangunan permanen, Rp200 ribu untuk bangunan semi permanen, dan ongkos bongkar Rp2,5 juta, ditolak mentah-mentah oleh warga.
“Ini bukan soal nominal. Ini soal hak warga untuk mendapatkan tempat tinggal yang layak dan perlakuan yang adil,” imbuh Raka.
Sementara itu, sebagai Jubir Warga, Fokku Ardiyanto, turut menyayangkan sikap KAI karena tidak mau mengikuti arahan dari Gubernur DIY, Sri Sultan Hamengkubuwono X (Sultan HB X) terkait salah satu tuntutan warga tersebut.
"Terkait PT KAI yang tidak mau mengikuti arahan 'Ngarsa Dalem', alasan mereka hanya satu yakni tidak sesuai peraturan direksi. Maka kami minta menunjukkan saja peraturannya, bunyinya apa, nomornya berapa. Tapi itu pun tidak dijawab. Ini jelas menunjukkan pendekatan kuasa yang arogan, bukan pendekatan musyawarah," ujar Fokki.
Menurut Fokki, hak warga mendapatkan penghidupan yang layak seperti tempat tinggal dan pengganti usaha, itu sesuai dengan UUD 1945. Fokki juga menilai, SP 2 yang dilayakan KAI tersebut layaknya teror kepada warga untuk memaksa berpindah dari lokasi itu.
"Jadi itu bukan hanya peraturan direksi ya, tetapi sesuai UUD 1945. Sebagai juru bicara warga, saya kan belum mendapatkan SP 2, hanya saja saya ini melihat akhir Juni 2025 warga harus mengosongkan tempat tinggal itu. Dan pada surat peringatan itu kayak ancaman peringatan kalau kamu tidak menyerah maka kita akan menggempur. KAI sama perilakunya kayak VOC," ujar Fokki.
Fokki kembali menekankan, tanah yang ditempati 14 rumah warga Lempuyangan ini adalah tanah keprabon (tanah raja) yang salah satunya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat.