Rabu, 09 OKTOBER 2024 • 11:15 WIB

Jokowi dan Komitmen Iklim Indonesia: dari Konservasi hingga Transisi Energi Terbarukan

Author

Presiden Jokowi dalam penanganan iklim Indonesia.

INDOZONE.ID - Perubahan iklim adalah ancaman serius bagi kemakmuran dan pembangunan global, termasuk di Indonesia. Dalam sepuluh tahun masa kepemimpinannya, Presiden Joko Widodo telah menunjukkan komitmennya untuk menangani dampak perubahan iklim, menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara yang aktif dalam upaya global untuk melawan krisis ini.

Meskipun dunia menghadapi tantangan besar akibat peningkatan suhu global yang disebabkan oleh pembakaran bahan bakar fosil, Indonesia berhasil menghadapinya dengan cukup baik. Dampak perubahan iklim seperti kekeringan, kelangkaan air, naiknya permukaan laut, hingga penurunan keanekaragaman hayati terus menjadi perhatian, namun upaya mitigasi yang dilakukan pemerintah Indonesia memberikan hasil yang signifikan dalam menghadapi bencana tersebut.

Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia memiliki potensi alam yang besar, yang menjadi modal utama dalam kontribusi terhadap penanganan perubahan iklim. Melalui berbagai inisiatif dan kebijakan berbasis lingkungan, Indonesia berperan penting dalam upaya global menjaga keseimbangan ekosistem dan mengurangi dampak perubahan iklim.

"Laju deforestasi turun signifikan, terendah dalam 20 tahun terakhir. Kebakaran hutan turun 82 persen pada 2020," ujar Presiden Jokowi di Scottish Event Campus, Glasgow, Skotlandia.

Tak hanya itu, Indonesia juga telah memulai rehabilitasi hutan mangrove seluas 600.000 hektar sampai 2024, terluas di dunia. Indonesia juga telah merehabilitasi 3 juta lahan kritis antara 2010-2019.

"Sektor yang semula menyumbang 60 persen emisi Indonesia, akan mencapai carbon net sink selambatnya tahun 2030," ungkap Jokowi.

Komitmen Indonesia dalam upaya menjaga kenaikan suhu global sesuai Persetujuan Paris (Paris Agreement) telah dituangkan dalam Kontribusi yang Ditetapkan secara Nasional (Nationally Determined Contribution, NDC) yaitu pengurangan emisi Gas Rumah Kaca (GRK) pada tahun 2030 sebesar 31,89 persen dengan upaya sendiri dan sebesar 43,20 persen dengan bantuan internasional.

Selain itu, Indonesia juga telah menyampaikan visi dan formulasi jangka panjang melalui dokumen Long-Term Strategy for Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR 2050), termasuk rencana Net Zero Emission (NZE) 2060 atau lebih cepat. Untuk mendukung rencana pencapaian NZE 2060 atau lebih cepat, sektor FOLU (Forestry and Other Land Use) dan energi menjadi tulang punggung pengurangan emisi GRK Indonesia. Untuk memastikan kontribusi dari sektor FOLU, maka Indonesia telah menyusun Rencana Operasional FOLU Net-Sink 2030.

Baca Juga: Transformasi Ekonomi Melalui Hilirisasi Warisan Jokowi untuk Indonesia Maju

Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (GRK)

Pidato Presiden Jokowi pada KTT Perubahan Iklim COP28, Dubai, 1 Desember 2023

Dalam pidato pembukaan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perubahan Iklim atau COP28 Dubai, Uni Emirat Arab, Presiden Jokowi menyampaikan keseriusan pemerintah Indonesia dalam penanganan perubahan iklim.

"Yang mulia. Dengan segala keterbatasan, Indonesia terus menurunkan emisi karbon. Antara tahun 2020 hingga tahun 2022, Indonesia berhasil menurunkan emisi karbon sebesar 42 persen dibandingkan dengan perencanaan business as usual tahun 2015. Kami juga bekerja keras untuk memperbaiki pengelolaan forest and other land use (FOLU), serta mempercepat transisi energi menuju energi baru terbarukan," ujar Presiden Jokowi.

Penyampaian terkait keberhasilan tersebut tentunya didukung dengan data dan informasi yang akurat, transparan dan kredibel. Sebagaimana data terkait dengan tingkat pengurangan emisi GRK dapat dilaporkan bahwa dari hasil perhitungan inventarisasi GRK nasional menunjukkan tingkat emisi GRK di tahun 2022 sebesar 1.220 Mton CO2e yang diperoleh dari masing-masing kategori/sektor yakni:

  • Energi sebesar 715,95 Mton CO2e
  • Proses Industri dan Penggunaan Produk sebesar 59.15 Mton CO2e
  • Pertanian sebesar 89,20 Mton CO2e
  • Kehutanan dan Kebakaran Gambut sebesar 221,57 Mton CO2e
  • Limbah sebesar 221,57 Mton CO2e

Apabila dibandingkan dengan tahun sebelumnya (2021), total tingkat emisi naik sebesar 6,9 persen, namun tingkat emisi tahun 2022 apabila dibandingkan dengan BAU pada tahun yang sama menunjukkan pengurangan sebesar 42 persen.

Demikian juga untuk keberhasilan di sektor lain seperti FOLU (Forestry and Other Land Use). Dengan memperhatikan hasil pemantauan perubahan tutupan hutan dari tahun 2020 dan 2021, dapat dilihat bahwa Angka Deforestasi Netto Indonesia tahun 2021-2022 mengalami penurunan sebesar 8,4 persen. Apabila dilihat dari data series setiap periode pengamatan mulai periode tahun 1996-2000, besaran deforestasi dapat mengalami peningkatan atau pengurangan. Hal itu terjadi karena dinamisnya perubahan penutupan lahan akibat aktivitas manusia dalam memanfaatkan lahan sehingga mengakibatkan hilangnya penutupan hutan atau penambahan penutupan hutan karena penanaman.

Sebagai gambaran umum, data deforestasi mulai periode tahun 1996-2000 hingga periode tahun pemantauan 2020-2021 menunjukkan bahwa deforestasi berhasil diturunkan pada titik terendah dalam 20 tahun terakhir yaitu pada angka 0,11 juta ha.

Kebakaran hutan dan lahan (karhutla) tahun 2023 berhasil ditekan lebih kecil dibandingkan tahun 2019 dengan pengaruh El-Nino yang hampir sama, bahkan kondisi 2023 lebih kering. Kondisi ini diantisipasi melalui berbagai upaya pencegahan karhutla sejak awal tahun dan secara konsisten dilakukan berbagai upaya untuk mencegah karhutla, mulai dari monitoring hotspot, penetapan kebijakan, aksi-aksi di lapangan baik aksi pencegahan, pemadaman, hingga penegakan hukum. Hal ini dapat menjadi indikasi adanya keberhasilan upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan yang efektif. Keberhasilan ini dicapai melalui keterpaduan dan kolaborasi para pihak dalam pengendalian karhutla.

Indonesia berhasil memitigasi dampak El Nino sehingga jumlah hotspot dan luas karhutla tidak setinggi tahun-tahun sebelumnya. Luas karhutla pada tahun 2023 adalah 1.161.192 ha sedangkan luas karhutla pada tahun 2019 adalah 1.649.258 ha. Penurunan luas karhutla jika dibandingkan tahun 2019 seluas 488.065 ha atau 29,59 persen. Sedangkan perbandingan total jumlah hotspot tahun 2019 dan 2023: (tanggal 1 Januari – 31 Desember 2023), berdasarkan Satelit Terra/Aqua (NASA) dengan confident level high: 10.673 titik, pada periode yang sama tahun 2019 jumlah hotspot sebanyak 29.341 titik (terdapat kenaikan jumlah hotspot sebanyak 18.668 titik/ 63,62 persen).

Sementara di sektor energi, pemerintah Indonesia memiliki peran strategis dalam menciptakan lingkungan yang lebih baik melalui proses transisi energi, khususnya pengembangan Energi Baru, Terbarukan, dan Konservasi Energi.

Indonesia juga terus melangkah maju dengan pengembangan ekosistem mobil listrik dan pembangunan pembangkit tenaga surya terbesar di Asia Tenggara. Selain itu, Indonesia juga memanfaatkan energi baru terbarukan, termasuk biofuel, serta pengembangan industri berbasis energi bersih, termasuk pembangunan kawasan industri hijau terbesar di dunia di Kalimantan Utara.

"Dalam hal transisi energi, kami menempuh Indonesian way of just energy transition toward 2030, mempercepat pengembangan energi baru terbarukan, serta menurunkan penggunaan batu bara. Pengembangan energi baru terbarukan, terutama energi surya, air, angin, panas bumi, dan arus laut, serta pengembangan biodiesel, bioetanol, dan bioavtur juga semakin meluas. Saya baru saja meresmikan Cirata Floating Solar Power Plan, terbesar di Asia Tenggara, menghasilkan 192 MWp hasil kerja sama Indonesia dengan Uni Emirat Arab," ungkap Jokowi.

Jadi Contoh Internasional dalam REDD+ dan RBP Emisi Karbon

South-South Exchange (SSE) 2024: Leading by Example Indonesia dalam Pertukaran Pengetahuan Implementasi REDD+

Indonesia telah dapat secara konkret menunjukkan kemajuan implementasi REDD+ yang merupakan bagian dari aksi mitigasi sektor FOLU. REDD+ di Indonesia dilaksanakan melalui pendekatan secara nasional serta dapat diimplementasikan pada sub-nasional (provinsi), dengan kerangka kerja REDD+ yang mencakup empat elemen saling terkait mengenai arsitektur REDD+ dan implementasinya, dukungan sumberdaya serta kelembagaan, peraturan dan sistem.

Kinerja pengurangan emisi GRK Indonesia melalui REDD+ telah mendapatkan rekognisi internasional yang diwujudkan melalui pembayaran berbasis kinerja / Result-Based Payment (RBP). Pada saat ini Indonesia tercatat sebagai negara yang menerima RBP paling besar, dengan total komitmen RBP sebesar USD 439,8 Juta, dimana dari total komitmen tersebut Indonesia telah menerima pembayaran sebesar USD 279,8 Juta.

RBP tersebut berasal dari: (1) RBP REDD+ melalui Green Climate Fund (GCF) sebesar USD 103,8 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 20,3 juta tCO2eq pada periode tahun 2014-2016. RBP tersebut selanjutnya akan disalurkan kepada nasional dan subnasional yang telah berkontribusi pada pengurangan emisi GRK (34 provinsi) melalui Mekanisme Pembagian Manfaat (Benefit Sharing Mechanism) yang telah disepakati bersama oleh pemangku kepentingan terkait; (2) Forest Carbon Partnership Facility (FCPF)-Carbon Fund tingkat sub nasional di Provinsi Kalimantan Timur sebesar USD 110 Juta untuk volume pengurangan emisi GRK 22 Juta tCO2e untuk periode tahun 2019-2024; (3) BioCarbon Fund - the Initiative for Sustainable Forest Landscapes (BioCF – ISFL) tingkat sub nasional di Provinsi Jambi sebesar USD 70 Juta untuk kinerja pengurangan emisi periode tahun 2020-2025; (4) Result Based Contribution (RBC) melalui kerjasama RI-Norway sebesar USD 56 juta untuk volume pengurangan emisi GRK sebesar 11,2 juta tCO2eq periode tahun 2016-2017 (tahap 1) dan sebesar USD 100 Juta untuk pengurangan emisi GRK sebesar 20 juta tCO2e untuk periode 2017-2019 (tahap 2).

Keberhasilan Indonesia dalam mengimplementasikan REDD+ dan menerima RBP telah direkognisi oleh UNFCCC dan menjadi contoh baik implementasi skema REDD+. Oleh karenanya, pada rangkaian COP28 di UAE, Dubai, Indonesia diminta berbagi pengalaman keberhasilan pelaksanaan REDD+ pada side event UNFCCC dan pada sesi-sesi diskusi di beberapa Pavilion Negara Pihak, termasuk Pavilion Ecuador, Brazil, dan Indonesia.

Menginspirasi Dunia dalam Pengendalian Iklim

Presiden Jokowi Sampaikan Komitmen Indonesia dalam Penanganan Perubahan Iklim di COP26

Indonesia sebagai bagian dari bangsa-bangsa di dunia sangat aktif dalam melakukan diplomasi dan negosiasi untuk memperjuangkan upaya pengendalian perubahan iklim di tingkat global. Partisipasi dan diplomasi Indonesia, melalui aksi nyata (leading by example) telah memberikan warna dan mempengaruhi hasil berbagai negosiasi isu perubahan iklim.

Aksi-aksi nyata yang telah dilakukan Indonesia menunjukkan bahwa Indonesia lebih awal menginisiasi beberapa kasi pengendalian perubahan iklim sebelum aksi tersebut menjadi komitmen atau keputusan di tingkat global, sebagai contoh pada saat COP UNFCCC memandatkan agar Negara Pihak untuk meningkatkan ambisi pengurangan emisi GRK yang sejalan dengan skenario 1,5oC, Indonesia justru telah mulai menyusun Dokumen Second NDC Indonesia, yang menyelaraskan target NDC Indonesia dengan skenario 1,50C yang tercantum dalam dokumen Long Term Strategy – Low Carbon and Climate Resilience (LTS-LCCR) 2050 dengan target pengurangan emisi GRK global tahun 2030: 43% dan tahun 2035: 60 persen terhadap tingkat emisi GRK tahun 2019.

Contoh lainnya adalah Indonesia telah menyampaikan target NDC yang economy-wide dan mencakup 6 (enam) jenis GRK mencakup seluruh sektor dan kategori sesuai kondisi nasional, sementara banyak Negara Pihak lainnya belum menyampaikan target NDC secara economy-wide.

Tak hanya itu, kepemimpinan Indonesia dalam pengendalian perubahan iklim juga ditunjukkan melalui kerja sama regional. Pada masa keketuaan ASEAN 2023, Indonesia telah menginisiasi 3 (tiga) deliverables terkait pengendalian perubahan iklim, yakni: (1) ASEAN Joint Statement on Climate Change to the COP 28 UNFCCC (AJSCC); (2) ASEAN Community-based Climate Action; dan (3) ASEAN Co-ordinating Centre for Transboundary Haze Pollution Control (ACCTHPC).

Perdagangan Karbon sebagai Penguat Aksi Perubahan Iklim

Ilustrasi perdagangankarbon

Dalam upaya mendorong upaya pengurangan emisi gas rumah kaca, Indonesia telah memikirkan pemberian insentif kepada para pelaku aksi mitigasi, yaitu melalui kebijakan Nilai Ekonomi Karbon (NEK), yaitu melalui Perdagangan Karbon.

Indonesia juga telah mengimplementasikan Enhance Transparency Framework sebagai mandat artikel 13 Paris Agreement, yang antara lain membangun Sistem Registri Nasional Pengendalian Perubahan Iklim (SRN-PPI) untuk merekognisi aksi-aksi yang telah dilakukan oleh stakeholders yang telah mengikuti metodologi dan aturan-aturan yang telah disepakati Internasional. Melalui proses di SRN dapat diterbitkan Sertifikat Pengurangan Emisi Gas Rumah Kaca (SPE-GRK) yang dapat diperjualbelikan sebagai bagian dari insentif kepada para pelaku aksi mitigasi.

Pemerintah Indonesia terus meningkatkan upaya penyadartahuan dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam aksi mitigasi dan adaptasi perubahan iklim kepada seluruh elemen masyarakat terkait dengan masalah Iklim dan Karbon, seperti efisiensi energi, pengelolaan, dan mencegah kebakaran hutan dan lahan. Sangat diharapkan kepada masyarakat luas di tingkat tapak untuk menghindari terjadinya kebakaran hutan dan lahan yang akan berkontribusi besar terhadap pengurangan emisi gas rumah kaca.

Untuk itu pemerintah melalui Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) membangun dan menyediakan layanan publik berupa Rumah Kolaborasi dan Konsultasi Iklim dan Karbon (RKKIK) untuk meningkatkan literasi perubahan iklim dan kolaborasi antara para pemangku kepentingan.

Untuk lebih dapat berkontribusi dalam upaya global pengendalian perubahan iklim dan menjaga kepentingan bangsa Indonesia, pemerintah dan seluruh pemangku kepentingan akan terus menguatkan aksi nyata dan memimpin dengan contoh (leading by examples).

Baca Juga: Dua Periode Jokowi: Menguatkan Supremasi Hukum dan Menekan Kasus Terorisme

Ukir Warisan Iklim yang Luas Bagi Indonesia

Presiden Jokowi ajak masyarakat atasi perubahan iklim dan polusi udara

Warisan pemerintah 10 tahun terakhir dalam mitigasi perubahan iklim mencakup berbagai kebijakan dan inisiatif penting yang telah membawa perubahan positif.

Dalam satu dekade terakhir, Indonesia memiliki peran penting dalam mendukung negosiasi substansial dalam Conference of the Parties (COP) UNFCCC. Ada sejumlah langkah dan kebijakan monumental yang tercipta. Salah satunya Rencana Operasional Forest and Other Land Uses (FOLU) Net Sink 2030, panduan untuk aksi iklim praktis di Indonesia, yang merupakan hasil diskusi pada COP26 di Glasgow dua tahun lalu.

"Pada COP28, prioritas kita adalah untuk menyoroti hasil-hasil utama dari aksi-aksi iklim yang kita lakukan, terutama dalam memastikan target-target iklim FOLU Net Sink 2030 Indonesia tetap berjalan sesuai rencana, sehingga kita dapat mempertahankan kendali dan memainkan peran yang menentukan dalam mencapai tujuan kita, yaitu peningkatan Net Zero Emission pada tahun 2060 atau lebih cepat," kata Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Dengan program Indonesia’s FOLU Net Sink 2030 yang diluncurkan pada COP26, tidak hanya sekedar janji yang dibuat di atas kertas, tapi secara konsisten telah menunjukkan melalui tindakan nyata di lapangan.

Dengan aksi-aksi perubahan iklim yang dilakukan di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi, Indonesia telah berhasil mengurangi deforestasi lebih banyak dibandingkan negara lain dalam beberapa tahun terakhir, dan tetap teguh dalam memastikan sektor FOLU berkontribusi terhadap pengurangan emisi Indonesia sebesar 60 persen.

Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya.

Pada peristiwa El Nino tahun 2023, Indonesia menunjukkan kepemimpinannya dalam bidang pengendalian perubahan iklim, yaitu dengan hanya 16 persen dari total kebakaran hutan dan lahan yang disebabkan oleh kebakaran gambut, serta tidak menimbulkan kabut asap lintas batas.

"Pencapaian-pencapaian ini tidak terjadi secara autopilot, namun merupakan hasil dari tindakan nyata terhadap perubahan iklim di lapangan, termasuk keberhasilan dalam menghindari kebakaran besar selama pandemi global COVID-19," kata Menteri Siti.

Menteri Siti berujar, bahwa memastikan target iklim FOLU Net Sink 2030 tetap sesuai rencana sama artinya dengan melindungi spesies utama dan habitatnya. Begitu juga dengan upaya restorasi gambut berbasis masyarakat dan rehabilitasi mangrove, yang mencakup jutaan hektar lahan.

Lebih lanjut, Menteri Siti mengatakan kepemimpinan iklim oleh Presiden Jokowi merupakan bagian integral dari warisan Jokowi, yang terlihat jelas dalam pembentukan sistem tata kelola karbon berbasis hukum, yang memprioritaskan pencapaian target Kontribusi Nasional (NDC) Indonesia.

"Hasil-hasil penting dalam bidang iklim tersebut menunjukkan bahwa kepemimpinan Presiden Jokowi dalam bidang iklim didasarkan pada kepemimpinan yang memberi contoh, bukan sekadar klaim, janji, atau komitmen di atas kertas," tegas Menteri Siti.

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber: Analisis Redaksi, Kementerian Lingkungan Hidup Dan Kehutanan