INDOZONE.ID - Peraturan Deforestasi Uni Eropa (EUDR) mewajibkan importir komoditas seperti minyak sawit, kopi, dan kakao untuk membuat pernyataan uji tuntas yang membuktikan bahwa produk mereka tidak berasal dari lahan yang mengalami deforestasi atau tidak menyebabkan degradasi hutan.
Pedagang dan organisasi lain yang menjual produk di UE akan memiliki waktu hingga akhir tahun 2024 untuk mematuhi EUDR. Namun, usaha mikro dan kecil dikecualikan dari uji tuntas hingga pertengahan tahun 2025.
Pemerintah Indonesia melihat aturan baru UE ini berdampak pada sekitar 15 juta hingga 17 juta petani kecil di tujuh komoditas dalam negeri seperti kayu, sapi, kakao, minyak sawit, kedelai, dan karet.
Melalui menteri perdagangan, pemerintah Indonesia mengatakan pada bulan Juli bahwa peraturan tersebut “sangat diskriminatif,” dan menambahkan, “Kami akan melawan, bernegosiasi, melawan.”
Baca Juga: Sebut Dugaan Penyimpangan di Pilpres 2024, Anies: Skala Amat Besar yang Belum Pernah Kita Lihat
Pada bulan Juni, Perdana Menteri Malaysia Anwar Ibrahim dan Presiden Indonesia Joko Widodo, yang merupakan pengusaha furnitur sebelum terjun ke dunia politik, menegaskan janji mereka untuk bekerja sama dalam melindungi industri.
Kedua negara tersebut merupakan produsen minyak sawit terbesar di dunia dan mengkritik peraturan UE tersebut karena menyebutnya merugikan petani kecil.
Menanggapi hal tersebut, Indonesia menjadi salah satu negara produsen (importir) komoditas ini sudah sejak lama, tengah menata ulang strategi pemasaran pada perusahaan-perusahaan yang bergerak dibidang tersebut yang tersebar dari sabang sampai merauke.
Salah satunya pusat furniture dan kerajinan kayu yang berbasis di Yogyakarta yang terkena imbas regulasi Uni Eropa tersebut.
Baca Juga: Paket Narkoba untuk Konsumsi Warga Kota Berhasil Diamankan Polisi di Pinrang
Dikutip dari NikkeiAsia, perusahaan furniture tersebut akan lebih fokus ke pasar Asia seperti Hong Kong dan Singapura karena negara-negara tersebut tidak mempunyai regulasi yang seketat Eropa.
Selama 15 tahun, perusahaan ini telah menjadi produsen dan eksportir furniture grosir, namun kini berfokus pada produksi barang-barang kecil seperti talenan dan peralatan makan kayu untuk restoran dan hotel di Asia Tenggara.
Memang benar, industri furniture dan kerajinan tangan menghadapi tantangan akibat melemahnya ekspor. Pada kuartal ketiga tahun 2023, ekspor sektor ini mencapai $1,8 miliar, turun 28% dari tahun sebelumnya “karena kondisi geopolitik dan inflasi yang melanda pasar global,” menurut Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia (HIMKI).
Dalam upaya mengatasi penurunan pasar utama untuk furniture dan kerajinan kayu Indonesia, HIMKI, di bawah kepemimpinan Abdul Sobur, telah mengumumkan strategi baru untuk menargetkan pasar negara berkembang.
Strategi ini merupakan respons terhadap tantangan yang dihadapi oleh industri, khususnya di pasar tradisional seperti Eropa dan Amerika. Sobur, dalam sebuah pernyataan resmi, menekankan pentingnya memperluas jangkauan pasar.
"Kami mengarahkan fokus kami pada pasar yang sedang berkembang, salah satunya adalah India, yang menunjukkan pertumbuhan yang sangat pesat," ujar Sobur.
Menurutnya, India merupakan ceruk pasar yang menjanjikan, dengan proyeksi pertumbuhan eksponensial selama dekade mendatang, didorong oleh perluasan infrastruktur, penghubungan antar kota besar, serta inisiatif pemerintah dalam pembangunan permukiman dan kawasan perkantoran baru.
HIMKI menyerukan kepada seluruh pelaku industri untuk segera mengambil langkah-langkah strategis dalam mengeksplorasi dan memanfaatkan peluang pasar baru ini.
Dengan demikian, diharapkan dapat mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh penurunan di pasar tradisional dan membuka jalan bagi pertumbuhan yang berkelanjutan.
Asosiasi tersebut melihat pasar Afrika, seperti Mesir, memiliki potensi, begitu pula ASEAN. Dikatakan bahwa Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN, atau AFTA, yang bertujuan untuk mengurangi tarif internal, akan membantu memperluas basis pelanggan di wilayah tersebut.
Untuk mendorong penjualan, Indonesia telah memperkenalkan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) yang memastikan bahwa kayu yang digunakan sebagai bahan baku berasal dari sumber yang sah dan jelas asal usulnya. Namun hal ini kurang mendapat pengakuan internasional.
Baca Juga: Selama Sidang Gugatan Pemilu, Polri Beri Pengamanan Khusus ke 8 Hakim MK
Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin Indonesia) tengah menghadapi tantangan dalam memastikan skema Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK) dapat diterima sebagai bagian dari Regulasi Kayu Uni Eropa (EUDR).
Wakil Ketua Hubungan Internasional Kadin, Bernardino Vega, dalam wawancara dengan Nikkei, menekankan pentingnya integrasi SVLK ke dalam EUDR untuk memperluas peluang bisnis yang adil dan berkelanjutan.
Vega menambahkan bahwa Kadin Indonesia sedang berupaya memperluas peluang bisnis baru di pasar non-tradisional, termasuk di luar Uni Eropa.
Menurutnya, perlambatan ekonomi global dan pergeseran pusat pertumbuhan ekonomi dari negara maju ke negara berkembang adalah alasan utama untuk menjajaki pasar non-tradisional.
Kadin Indonesia menyoroti bahwa tantangan makro-ekonomi saat ini memerlukan strategi yang inovatif dan proaktif untuk mempertahankan dan meningkatkan posisi Indonesia dalam perdagangan global.
Vega menegaskan bahwa perluasan pasar non-tradisional merupakan langkah strategis yang sejalan dengan tren permintaan global, yang akan membantu Indonesia mengatasi tantangan ekonomi saat ini dan memperkuat hubungan dagang internasionalnya.
Konten ini adalah kiriman dari Z Creators Indozone.Yuk bikin cerita dan konten serumu serta dapatkan berbagai reward menarik! Let's join Z Creators dengan klik di sini.
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: NIKKEI Asia