Tips dan Panduan Naik Pesawat di Masa PSBB Juni 2020: Catatan Perjalanan Jurnalis Indozone
Para penumpang Citilink dengan Nomor Penerbangan QG 781 tujuan Kualanamu Medan, dipersilakan masuk ke pesawat udara melalui Pintu 1. Terima Kasih.
Operator Bandara Yogyakarta International Airport (YIA), Kulonprogo, memanggil. Para penumpang lantas berbaris mengantre pemeriksaan tiket untuk yang terakhir kalinya, sebelum masuk ke kapal terbang yang sudah menunggu di samping garbarata di tepi landasan pacu. Jaga jarak minimal satu meter diterapkan. Tidak ada desak-desakan seperti pada hari-hari biasanya.
Tidak banyak penumpang hari itu, Selasa, 2 Juni 2020. Dari 180 kursi penumpang yang tersedia, hanya 40 yang terisi. Nyaris semua barisan kursi hanya diisi satu orang. Bahkan banyak barisan yang tak terisi sama sekali.
Saya ada di antara 40 penumpang itu, duduk di kursi nomor 17E, persis di bagian sayap kanan pesawat. Seperti yang sudah saya katakan, tidak ada orang di sebelah kanan-kiri saya. Saya bebas duduk merentangkan kaki. Sungguh nyaman rasanya jika dibandingkan dengan masa-masa normal, di mana saya harus meluruskan kaki saya yang jenjang ini ke depan selama kurang lebih tiga jam.
Semudah itukah? Tunggu dulu.
Sebelum akhirnya saya dan penumpang lainnya bisa duduk di kursi pesawat, ada 'perjalanan panjang', jika bukan drama, yang kami lalui.
Saya sendiri nyaris tidak jadi terbang hari itu. Hingga H-2 keberangkatan, pihak maskapai tidak memberitahukan kepada saya (dan mungkin juga semua penumpang lain) bahwasanya saya harus menyiapkan berkas-berkas persyaratan terbang, sesuai Surat Edaran (SE) Nomor 5 Tahun 2020.
Karena khawatir, Minggu malam, 31 Mei 2020, saya lantas menelepon call center Citilink, menanyakan perihal tersebut.
Benar saja, ternyata saya memang harus menyiapkan berkas-bekas itu. Saya pun tak bisa menahan diri untuk tidak misah-misuh. Bagaimana mungkin sehari saya bisa menyiapkan Surat Keterangan Bebas Covid-19, Surat Keterangan Sehat (Tidak Bergejala), dan surat Pernyataan Bermaterai yang diketahui kepala desa tempat saya tinggal di Jogja?
Satu-satunya yang sudah saya pegang hanyalah surat dinas dari kantor.
Karena saya katakan "tidak mungkin saya bisa mengurus surat-surat itu", si operator memberi saya dua opsi: (1) reschedule keberangkatan tetapi harus membayar biaya tambahan sesuai tanggal yang saya pilih, atau (2) refund tapi prosesnya memakan waktu 30-90 hari.
Karena pendek pikiran, apalagi malam itu otak saya sudah lelah setelah bekerja sejak pagi, saya lantas memilih refund.
Dan ternyata dari sinilah drama itu bermula. Pengajuan refund tidak bisa langsung dieksekusi oleh pihak Citilink karena saya membeli tiket melalui agen Pegipegi.
"Bapak Abul Muamar harus menghubungi pihak travel agent dalam hal ini Pegi-pegi tempat bapak membeli tiketnya. Nanti pihak Pegi-peginya yang akan mengajukan permohonan refund-nya ke kami (Citilink). Itu prosesnya memakan waktu 1 sampai 3 bulan," kata Mbak-mbak operator Citilink.
Tak mau berlama-lama, begitu selesai bicara dengan operator Citilink, saya menelepon call center Pegipegi untuk mengajukan permohonan refund. Dan permohonan refund saya langsung disampaikan oleh Pegipegi ke Citilink langsung malam itu juga.
"Baik, Bapak Abul Muamar, ini sudah kami bantu ajukan permohonan refund-nya ke pihak maskakai Citilink. Citilink akan memproses refund-nya ke Pegipegi dalam waktu 30 sampai 90 hari. Lalu dari kami Pegipegi akan akan ada proses selama 15 hari untuk kami kirimkan refund-nya ke rekening bapak."
"Jadi 105 hari saya menunggu?" saya tanya ke operator Pegipegi untuk memastikan.
"Benar, Bapak, mohon atas ketidaknyamanannya."
Telepon terputus. Pulsa saya rupanya habis. Rupanya lumayan mahal buat menelepon call center Citilink dan Pegipegi. Saya pun tidur malam itu dengan keadaan tak tenang.
Senin pagi, 1 Juni 2020, atau H-1, saya terbangun dalam keadaan kepala berat. Saya garap tiga artikel selama 4 jam dengan memaksakan segenap kekuatan otak saya tanpa terpikir untuk sarapan terlebih dahulu.
Pukul 11.00 waktu Jogja, karena saya masih terus kepikiran soal tiket pesawat, saya pun membuka aplikasi pembelian tiket untuk mengecek harga tiket YIA-KNO di bulan Juni. Ternyata, harga tiket di bulan Juni mahal-mahal semua, rata-rata hampir Rp 2 juta.
Dari situ otak saya mulai bekerja "dengan benar". Saya pikir-pikir, kalau saya beli tiket lagi, saya akan semakin terbebani biaya. Saya mulai berpikir untuk mengurus surat-surat itu siang itu juga, di waktu yang tersisa.
Maka, cepat-cepat saya isi pulsa dan menelepon kembali operator Pegipegi, untuk memohon agar permohonan refund saya tadi malam dibatalkan saja. Namun, kata si operator, tidak bisa.
"Kalau bapak sudah mengajukan permohonan refund makan tidak bisa lagi dibatalkan. Silakan bapak menunggu proses refund-nya dalam waktu 30 sampai 90 hari kepada kami, lalu 15 hari dari kami," kata si operator seraya mengucapkan 'mohon maaf atas ketidaknyamanannya', entah karena benar-benar berempati atau sekadar memenuhi standar kerja sebagai operator.
Untuk memantapkan niat, saya pun bertanya kepadanya, "Memangnya berapa persen uang saya nanti yang akan dikembalikan?"
"Setelah kami check di sistem kami itu nanti akan dikembalikan sebesar 30 persen dari harga pembelian, sesuai ketentuan dari pihak maskapai (Citilink). Dan itu nanti akan dipotong 15 ribu oleh Pegipegi sesuai ketentuan Pegipegi," katanya.
Sekali lagi saya tidak bisa tidak misah-misuh di situ.
Daripada hanya dikembalikan 30 persen, dan itupun prosesnya tiga bulan, dan saya juga harus membeli tiket lagi seharga hampir Rp 2 juta, mendingan saya nekat tetap terbang saja sesuai jadwal tiket saya: 2 Juni 2020 pukul 15.50 WIB.
Ternyata Semesta menghendaki niat saya. Dibisakannya saya melakukan check-in online melalui website Citilink, dan langsung saya cetak (print) tiketnya (boarding pass) saat itu juga.
Bisa check-in walaupun sudah mengajukan permohonan refund, membuat saya tak ragu lagi untuk menjalani rapid test dan mengurus surat pernyataan untuk diketahui Kepala Desa Margomulyo, Sleman, tempat saya tinggal selama di Jogja.
Pertama saya ke rumah kepala desa dulu. Tidak perlu menunggu lama, Pak Suhardjono, kepala desa yang meskipun sudah sepuh tapi tetap kuat sehari-hari mencangkul di sawah, menyambut saya. Ia baru pulang dari sawah dalam keadaan berlumpur.
Setelah menjelaskan maksud saya, Pak Suhardjono pun membubuhkan tanda tangannya di atas secarik kertas berisi pernyataan saya, dan memberinya stempel Desa Margomulyo.
Selesai mendapatkan surat dari kepala desa, saya bergegas menuju Kota Jogja. Jarak yang agak jauh dari desa tempat saya tinggal tak jadi masalah. Saya datangi beberapa rumah sakit di Jogja, tetapi ternyata tidak melayani rapid test di hari itu. Ternyata hari itu tanggal merah, ya 1 Juni, Hari Kebangkitan Nasional.
Untungnya, ada RS Panti Rapih, dekat bundaran UGM, yang tetap melayani pasien yang ingin rapid test. Biayanya juga sedikit lebih murah, yakni Rp 473.000, sudah termasuk biaya konsultasi dan surat dari dokter.
Pukul 15.00, setelah menunggu antrean selama hampir dua jam, akhirnya darah saya diambil.
"Hasilnya dua jam lagi ya, Mas," kata perawat yang mengambil darah saya.
Pukul lima sore kurang sepuluh menit, saya kembali ke RS Panti Rapih, dan hasil rapid test saya sudah jadi.
Syukurnya, saya non-reaktif. Sesuai SE Nomor 5 Tahun 2020, hasil rapid test non-reaktif yang berlaku selama 3 hari sejak dikeluarkan saja sudah cukup untuk dijadikan syarat terbang. Dari dokter itu juga saya mendapatkan surat keterangan sehat (bebas gejala sakit).
Lengkap sudah surat-surat yang harus saya siapkan untuk terbang. Langit sudah gelap ketika saya tiba kembali di indekos saya di Padukuhan Kregolan, Desa Margomulyo, Kecamatan Seyegan, Sleman.
Saya beristirahat seraya berharap, esok harinya, saat petugas mengecek tiket hasil print-an saya di Bandara YIA, sistem tidak mendeteksi permohonan refund saya itu.
Selasa, hari H keberangkatan, saya deg-degan sejak bangun tidur. Saya tak bisa berhenti bertanya apakah permohonan refund saya itu akan terbaca oleh sistem bandara. Dalam perjalanan hampir dua jam menuju bandara, saya juga memikirkan kemungkinan saya batal terbang.
Tiba di bandara, suasana begitu sepi. Halaman parkir kendaraan tampak banyak yang kosong. Di halaman depan pintu masuk utama bandara, saya melihat lebih banyak sopir atau agen taksi yang mondar-mandir gelisah menunggu penumpang ketimbang orang akan yang terbang ataupun yang baru turun dari pesawat.
Akhirnya, pada pukul 14.30, saya--dan penumpang lain--melewati pemeriksaan petugas bandara. Ada tiga pemeriksaan: pertama, pemeriksaan berkas-berkas (surat bebas Covid-19 dll); kedua, pemeriksaan oleh Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) Bandara; dan ketiga, pemeriksaan rencana perjalanan sesaat sebelum masuk ke boarding room.
Terus terang, di pemeriksaan terakhir inilah saya paling cemas, karena itulah penentuan apakah permohonan refund saya terdeteksi atau tidak.
Dan, ternyata tidak. Saya pun dipersilakan masuk ke ruang boarding untuk menunggu panggilan masuk ke dalam pesawat.
Ya, begitulah 'drama' yang saya lalui untuk bisa terbang di masa Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB), yang nyatanya masih diberlakukan di bulan Juni ini. Kiranya bisa menjadi gambaran sekaligus panduan bagi Anda yang akan terbang dalam waktu dekat ini.
Artikel menarik lainnya
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: