Sidang ketiga gugatan perdata terkait pembuktian terhadap keaslian ijazah Presiden RI ke-7 Joko Widodo (Jokowi) ini, dipimpin oleh Majelis Hakim Cahyono dengan agenda tanggapan para pihak atas permohonan intervensi.
Ditemui usai sidang, Ariyanto mengatakan permohonan intervensi didasarkan pada adanya kepentingan sama dalam gugatan membuka data pendidikan S1 Jokowi.
Diketahui Ariyanto, dalam sidang gugatan di PN Surakarta, pemohon intervensi menggugat ijazah palsu mantan presiden RI tersebut.
Sekarang di PN Sleman, dia mendukung pihak penggugat untuk membuka data ijazah dari 8 tergugat dari UGM meliputi Rektor, Wakil Rektor 1-4, Dekan Fakultas Kehutanan, Kepala Perpustakaan Fakultas Kehutanan dan Kasmojo selaku dosen pembimbing.
"Kalau di Solo itu adalah menggugat ijazah palsu, sedangkan yang sekarang ini membuka data ijazah itu. Karena korelasi itu berbeda, maka tidak bisa dipersamakan bahwa ini punya kepentingan ataupun pihak yang sama," katanya.
BACA JUGA Alasan Sidang Kedua Gugatan Terhadap UGM Terkait Polemik Ijazah UGM ditunda 3 Juni Mendatang Ia juga menilai, dasar pengajuan pihak ketiga masuk dalam perkara tidak dapat digunakan acara hukum perdata, serta tidak memenuhi kualifikasi formil dan meteriil berdasarkan peraturan Mahkamah Agung (MA).
"Lalu, ternyata dia tidak bisa menjabarkan di dalam konteks permohonannya, hanya menyampaikan bahwa kepentingan yang sama, maka tepat apabila mengajukan sebagai pihak, hanya itu saja. Nah, korelasi inilah yang tidak muncul. Kita anggap kalau itu sebenarnya tidak tepat dia mengajukan sebagai penggugat intervensi," ucapnya.
Sementara itu, Zahru Arqom selaku kuasa hukum Kasmojo (Kepala Perpustakaan Fakultas Kehutanan UGM) menambahkan, seharusnya pihak intervensi memiliki alasan logis secara yuridis yang urgensinya masuk ke perkara ini.
Apalagi, pemohon intervensi disebutnya sudah memiliki hak dan kewajiban sebagai pihak penggugat dalam perkara Nomor 99/Pdt.G/2025/PN Skt di PN Surakarta.
"Nah, kalau dia kemudian mendalilkan punya kepentingan yang sama, objek sengketa yang sama dan sebagainya, otomatis ada duplikasi kan," ujar Zahru.
"Kemudian yang kedua adanya potensi disparity of sentencing (perbedaan atau ketidaksetaraan dalam hukuman pidana). Lalu sekarang dia di sini juga ikut ya, kan akan terjadi kerancuan dalam kemerdekaan hukum acara perdata, khawatirnya akan terjadi polemik hukum nantinya," pungkas Zahru.