Kategori Berita
Media Network
Senin, 23 JANUARI 2023 • 12:49 WIB

MUI Angkat Bicara Soal 'Nikah Tanpa Wali dan Saksi' Tersangka Pencabulan Fahim Mawardi

K.H Abdul Haris, Letua MUI Jember menjelaskan soal alibi nikah Daud Fahim Mawardi. (Z Creators/Haryo Pamungkas)

Nama Fahim Mawardi (Kiai FM) pengasuh Ponpes Al Djaliel 2, Kecamatan Ajung, Kabupaten Jember, Jawa Timur menyedot perhatian publik sejak dilaporkan istrinya HA atas dugaan tindak asusila dan kekerasan seksual kepada santriwatinya pada Kamis, 5 Januari 2023 lalu.

Setelah sebelumnya sesumbar akan berjalan jongkok sambil telanjang Jember-Jakarta jika terbukti melakukan pencabulan kepada santriwati, Fahim lewat kuasa hukumnya juga menklaim telah menikahi salah seorang santriwati yang disebut korban berinisial A (20) dalam pelaporan tersebut.

Andi C. Putra, salah satu tim kuasa hukum Fahim menyebut pernikahan ala Daud az-Zohiri atau tanpa saksi dan wali tersebut dilakukan sekitar November 2022 lalu. 

Alibi inilah yang menurutnya dapat menggugurkan UU Perlindungan Anak dan Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) yang disangkakan kepada kliennya.

“Pernikahan itu dilakukan untuk menghidari zina, A juga sudah berusia 20 tahun, ini karena keduanya (Fahim dan korban) memang ada rasa satu sama lain,” ujarnya.

Fahim sendiri telah ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan penahanan oleh Polres Jember. Lewat konferensi pers Jumat, 20 Januari 2023 lalu Kapolres Jember AKBP Hery Purnomo menyebut terdapat 4 korban dalam kasus ini. Namun ia tak berkenan menyebut status dan usia korban kepada media.

Fahim terancam pasal 82 ayat 1 dan 2 UU No.23/2022 tentang Perlindungan Anak, Pasal 15 UU No. 12/ 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS), dan pasal 294 ayat ke-1 dan 2 KUHP dengan pidana maksimal masing-masing 15 tahun, 12 tahun, dan 7 tahun kurungan.

Di sisi lain, bagaimana tokoh agama memandang klaim pernikahan tanpa saksi dan wali ini? 

Demi mendapatkan keterangan lebih lanjut atas hukum pernikahan tanpa wali dan saksi ini, Z Creators Haryo Pamungkas menemui Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jember, K.H Abdul Haris di kediamannya di Ponpes Al Bidayah, Kaliwates, Jember pada Jumat, 20 Januari 2023 lalu. 

Sebelumnya, K.H Abdul Haris mengaku juga telah dimintai pandangan hukum sebagai ahli tentang pernikahan tanpa wali dan saksi ini oleh Polres Jember.

Awal Mula Pernikahan ala Daud az-Zohiri atau Tanpa Wali dan Saksi

Fahim Mawardi, tersangka pencabulan. (Dok. Istimewa)

Pernikahan tanpa wali dan saksi sering dinisbatkan pada mazhab Daud az-Zohiri, sehingga acapkali disebut pernikahan Daud. Namun, K.H Abdul Haris menerangkan hal ini sulit dicari dasar referensinya.

Pasalnya, mazhab Daud az-Zohiri sendiri menurut Haris tidak banyak dikenal. Sebabnya, mazhab Daud banyak disisihkan karena dianggap kurang bisa dipertanggungjawabkan dan divalidasi dibanding 4 mazhab lainnya.

“Jadi, salah satu alasan kenapa yang dijadikan pegangan itu mazhab Maliki, Hambali, Syafi’i, Hanafi, karena transmisi keilmuannya dari generasi awal itu validasinya luar biasa. Kalau di luar itu, masih banyak yang tidak bisa dipertanggungjawabkan sehingga tidak dipakai secara umum. Meskipun dalam konteks kajian wacana dan akademik itu tetap dikaji,” terangnya.

Baca juga: Fakta-fakta Kasus Pencabulan Kiai FM Jember, Ada Kamar 'Khusus' Pakai Fingerprint

Selain itu, keberadaan wali nikah perempuan oleh mayoritas mazhab dikategorikan sebagai rukun nikah. Dari keempat mazhab fikih, hanya Imam Hanafi (Hanafiyah) yang berpendapat bahwa apabila seorang perempuan melakukan akad nikah untuk dirinya tanpa wali, dengan laki-laki yang kuf-ah, maka hukumnya boleh.

Meski dihukumi boleh tanpa wali, mazhab Hanafiyah tetap mengkategorikan saksi sebagai rukun nikah. 

“Ada yang memahami bahwa pernikahan ala Daud az-Zohiri itu boleh tanpa saksi dan wali, padahal sebenarnya juga tidak. Mayoritas mazhab berpendapat keberadaan wali itu rukun nikah. Sehingga seandainya pernikahan dilakukan tanpa wali, itu tidak sah,” tuturnya.

“Kalau saksi misalnya, itu kan ada hadist la nikaaha illa biwaliyyin wa syahidaini adlin, atau keberadaan dua orang saksi. Itu rata-rata (4 mazhab) menganggap bahwa persaksian itu harus ada. Ada yang menganggap bahwa persaksian itu tidak harus. Tapi, kalau seandainya mau melakukan persetubuhan, maka ya harus ada juga. Maksudnya, proses itu pada akhirnya juga ada saksi. Jadi, sama sekali tidak kemudian tanpa wali, tanpa saksi. Itu tidak ada.” 

Menurut Haris, klaim pernikahan tanpa wali dan saksi bisa jadi dipahami sebagai gabungan mazhab Hanafi (tanpa wali) dan Maliki (tanpa saksi). Namun, hal ini justru memunculkan ketidakjelasan mazhab.

“Tapi ini pada akhirnya mazhabnya menjadi tidak jelas. Yang tanpa wali itu berarti Hanafi, tanpa saksi ambil Maliki. Jadi, ketika tanpa wali dan saksi itu sebenarnya menurut Hanafi tidak sah  karena enggak ada saksi. Menurut Maliki juga tidak sah, karena tidak ada wali. Jadi, dua mazhab juga menganggap bahwa ini juga tidak sah,” imbuhnya. 

“Nikah sirri saja kan ada wali dan ada saksi. Itu kan masih banyak yang mengharamkan meskipun dianggap sah. Apalagi yang katanya diklaim sebagai Daud az-Zohiri itu misalnya kalau seandainya kita lihat dasar referensinya itu tidak ada. Tidak ada kemudian secara tegas mengabsahkan, apalagi itu (perempuan) perawan, bisa dilangsungkan tanpa wali dan tanpa saksi.”

Tidak Sesuai Substansi Fikih

Haris berpendapat bahwa melangsungkan pernikahan tanpa wali dan saksi justru cenderung mendatangkan kemafsahadatan (Red: kemudaratan yang membawa kepada kerusakan) alih-alih kemaslahatan. 

Dalam hal ini, ia mengingatkan agar masyarakat memegang 2 prinsip utama (substansi) fikih, yakni mendatangkan kemaslahatan dan menjauhkan kemafsahadatan untuk menilai sesuatu dianggap fikih atau tidak.

“Dalam konteks pernikahan, misalnya dilakukan tanpa wali dan tanpa saksi kan sama sekali tidak diketahui orang lain. Ketika kemudian hamil misalnya, hamil itu akan ada hak dari seorang anak. Bagaimana kemudian menklaim hak anak ini?" imbuhnya. 

“Setidaknya, banyak laki-laki sekarang tidak bertanggung jawab. Ya, ada yang kemudian misalnya setelah melakukan hubungan suami istri dia (suami) meninggalkan, tanpa sama sekali bisa digunakan sebagai alat bukti untuk menuntut. Itu kan pemerintah harus hadir di situ. Jangan kemudian mengatasnamakan fikih itu tidak bisa dijerat. Loh, jelas-jelas ini membahayakan. Apalagi kemudian perdebatan tanpa wali dan saksi itu dihukumi zina, kalau dilihat dari berbagai referensi,” katanya. 

Sering Digunakan Sebagai Alibi

K.H Abdul Haris mewanti-wanti bahwa klaim pernikahan tanpa saksi dan wali ini acapkali digunakan sebagai alibi. Jika tidak dipertegas, maka hal ini bisa digunakan untuk membenarkan perzinahan terselubung yang secara tegas dan keras dilarang syariat islam.

“Padahal di kitab mana dan referensinya apa itu, kita kesulitan. (Mazhab) Daud dalam konteks perawan itu tetap mempersyaratkan wali. Ya, biasanya yang begitu digunakan sebagai alibi, setelah ketahuan baru ini (nikah) daud. Dari aspek keilmuan dan substansi yang diperjuangkan oleh maqashid syariah (tujuan syariat) Islam itu tidak tepat. Sehingga, jika diterapkan dalam syariat Islam itu tidak cocok karena yang saya tahu kalau ada orang yang menikah tanpa wali dan saksi itu dianggap zina,” pungkasnya.  

Artikel menarik lainnya: 

Bikin cerita serumu dan dapatkan berbagai reward menarik! Let’s join Z Creators dengan klik di sini.

Z Creators

Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi

Sumber:

BERITA TERBARU

MUI Angkat Bicara Soal 'Nikah Tanpa Wali dan Saksi' Tersangka Pencabulan Fahim Mawardi

Link berhasil disalin!