Soal tuduhan pembunuhan berencana di balik terbunuhnya Brigadir Yosua seperti yang dituduhkan pihak keluarga melalui pengacara, kemungkinan besar bisa saja terjadi.
"Tuduhan itu bisa saja terjadi kalau berdasarkan asumsi. Tapi polisi kalau penyidikan profesional harus berdasarkan bukti yang ada," kata Irjen Pol (Purn) Aryanto Sutadi melalui kanal Youtube Polisi oh Polisi seperti yang dikutip Indozone, Minggu (7/8/2022).
Menurut mantan petinggi Polri itu, bukti-bukti harus mendukung kalau pembunuhan itu direncanakan atau sudah terjadi kasus penembakan mulai dari perjalanan dari Magelang ke Jakarta.
Terlebih berdasarkan kerterangan Komnas HAM dalam perjalanan dari Magelang ke Jakarta, Brigadir Yosua ternyata masih hidup, menurutnya tudingan dari pihak keluarga ada pembunuhan berencana, belum memiliki cukup bukti.
"Apa yang diasumsikan pihak korban (melalui advokat) bahwa pembunuhan itu direncanakan dengan mempelajari dari rekaman HP, dia terancam itu, bagi Polri itu belum cukup bukti apakah dia itu ketakutan atau pembunuhan berencana," katanya.
Pada tahap awal dengan ditetapkannya Bharada E alias pemilik nama Richard Eliezer sudah memenuhi syarat jadi tersangka sudah tepat.
Sedangkan terkait pembunuhan berencana masih didalami oleh Mabes Polri melalui tim khusus yang dibentuk untuk menangani kasus pembunuhan ini.
Menurut Aryanto untuk membuktikan ada indikasi ke pembuhan berencana, sangat sulit. Pasalnya barang bukti yang terkait dengan hal itu sudah dihapus oleh tangan-tangan melalui 25 oknum polri yang tidak profesional.
"Tapi dengan adanya telegram Kapolri memutasikan 25 orang yang diduga kurang profesional, saya kira sudah menunjukkan polisi sudah serius," tambahnya.
Kendati demikian, Aryanto optimis bakal ada tersangka baru terkait pembunuhan Brigadir J. Walau pun timsus mendapati jalan terjal kalau TKP sudah banyak dirusak dan bukti CCTV sudah diganti.
"Akan ada tersangka baru, apabila ada bukti untuk itu. Atau tetap bertahan kepada Bharada E ini sebagai pelaku tunggal. Itu tergantung pada bukti yang dikembangkan yang ditemukan tim khusus itu," jelasnya.
Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD menyebutkan, pencopotan kamera pengawas atau CCTV oleh.mantan Kadiv Propam Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo bisa dipidana.
"Pencopotan CCTV itu bisa masuk ranah etik dan bisa masuk ranah pidana. Bisa masuk dua-duanya," kata Mahfud dalam keterangan tertulisnya, di Jakarta, Minggu.
Menurut dia, Ferdy Sambo tidak hanya melakukan pelanggaran etik, namun bisa dikenakan pidana.
"Jadi pengambilan CCTV itu bisa melanggar etik, karena tidak cermat atau tidak profesional. Namun, sekaligus juga bisa pelanggaran pidana karena 'obstraction of justice' dan lain-lain," ujar Mahfud.
Dia menambahkan, sanksi pelanggaran etik dengan pelanggaran pidana berbeda. Kalau pelanggaran etik hanya diusut Komisi Disiplin dengan sanksi bisa dikenakan adalah pemecatan, penurunan pangkat, teguran dan lainnya.
Sedangkan peradilan pidana diputus oleh hakim yang hukumannya berupa sanksi pidana seperti masuk penjara, hukuman mati, pidana seumur hidup, perampasan harta hasil tindak pidana, dan lain-lain.
Sebelumnya, mantan Kepala Divisi Profesi dan Pengamanan (Kadiv Propam) Polri Irjen Pol. Ferdy Sambo diduga melanggar prosedur penanganan tempat kejadian perkara tewasnya Brigadir J di rumah dinasnya di Duren Tiga, Jakarta Selatan.
Kepala Divisi Humas Polri Irjen Pol Dedi Prasetyo mengatakan pelanggaran prosedural itu seperti tidak profesional dalam penanganan olah TKP dan mengambil CCTV.
“Tadi kan disebutkan dalam melakukan olah TKP, seperti Pak Kapolri sampaikan terjadi, misalnya, pengambilan CCTV dan lain sebagainya," ujar Dedi di Mabes Polri, Sabtu (6/8) malam.
Ferdy Sambo termasuk dalam daftar 25 personel Polri yang melakukan pelanggaran prosedur, tidak profesional menangani TKP Duren Tiga. Ia dan tiga orang lainnya ditempatkan di tempat khusus di Korps Brimob dalam rangka pemeriksaan oleh Pengawasan Pemeriksaan Khusus (Wasriksus) oleh Inspektorat Khusus (Irsus).
Dilarang mengambil dan/atau menayangkan ulang sebagian atau keseluruhan artikel di atas untuk konten akun media sosial komersil tanpa seizin redaksi
Sumber: